Factor terjadinya pemberontakan di Papua

Berikut ini adalah pertanyaan dari putuprasintya9483 pada mata pelajaran Sosiologi untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama

Factor terjadinya pemberontakan di Papua

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:

Konflik Papua terus memanas sejak serangan di Nduga akhir 2018 dan unjuk rasa di Papua pada 2019. Hingga sekarang, pemerintah terus melanjutkan pendekatan berbasis keamanan di Papua, dengan meningkatkan kehadiran aparat keamanan (TNI dan Polri) melawan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) seperti TPNPB-OPM. Seiring dengan pendekatan keamanan ini, jumlah korban di Papua terus meningkat, baik dari pihak aparat keamanan, KKSB, maupun warga sipil. Sementara itu, akar penyebab konflik Papua, yaitu sengketa historis terkait integrasi Irian Barat ke Indonesia, kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan, dan meningkatnya marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua, masih belum terselesaikan. Kami menyimpulkan bahwa pemerintah perlu mengubah pendekatan keamanan terhadap konflik Papua, dan menyarankan pemerintah melakukan pendekatan humanis yang menyentuh akar penyebab konflik tersebut.

Komentar

Akhir-akhir ini, warga Indonesia marak memperbincangkan Vanuatu. Pasalnya, Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman mengangkat masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua pada Sesi ke-75 Sidang Umum PBB pada 26 September 2020.[1] Indonesia menjawab dengan mengatakan bahwa Vanuatu mengangkat “masalah HAM yang artifisial” dan bahwa Vanuatu “bukan perwakilan Papua”.[2] Warganet Indonesia pun ikut “menyerang” Vanuatu melalui media sosial dengan meninggalkan komentar-komentar rasis di akun Facebook dan Instagram Vanuatu Tourism Office.[3]

Alih-alih menyerang Vanuatu, kami berpikir bahwa momen ini sesungguhnya penting untuk merefleksikan tudingan Vanuatu tersebut: Apakah benar pelanggaran HAM di Papua adalah masalah yang artifisial? Yang jelas, konflik Papua terus memanas hingga sekarang, dan tidak ada tanda-tanda konflik ini akan teresolusi dalam waktu dekat. Konflik Papua telah berlangsung selama lebih dari setengah abad, tetapi terus memanas dalam dua tahun terakhir. Pemicunya antara lain serangan yang menewaskan 31 pekerja konstruksi di Kabupaten Nduga pada 1 Desember 2018, dan serangkaian unjuk rasa di Papua pada Agustus–September 2019.

Terkait serangan di Nduga pada 2018, aparat keamanan Indonesia menduga bahwa serangan tersebut diatur oleh Egianus Kogoya, pemimpin sayap bersenjata OPM di Nduga. Pemerintah pusat pun mengirimkan 154 tentara dan polisi untuk memulihkan keamanan.[4] Akan tetapi, konflik di Nduga justru tereskalasi, yang berdampak langsung pada penduduk sipil. Pada 20 Desember 2018, Pemerintah Kabupaten Nduga menemukan jenazah empat warga sipil,[5] yang menurut juru bicara TNI diduga terjebak dalam baku tembak antara militer dan kelompok bersenjata.[6] Pada 14 Agustus 2019, tim kemanusiaan yang dibentuk oleh Pemkab Nduga mengatakan bahwa 182 orang telah tewas di kamp-kamp pengungsi, tetapi pemerintah pusat mengatakan bahwa jumlah pengungsi yang meninggal adalah 53 orang.[7] Pada 10 Oktober 2019, warga menemukan lima jenazah di dalam lubang yang ditutupi dedaunan dan terkubur tanah.[8] Akhirnya, pada 24 Desember 2019, Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge mengundurkan diri dari jabatannya karena terus berlangsungnya kekerasan dan pembunuhan warga sipil di Papua.[9]

Adapun unjuk rasa di Papua pada 2019 dipicu oleh insiden rasis di Surabaya, di mana 43 mahasiswa Papua ditangkap karena dituduh tidak menghormati bendera Indonesia. Dalam kurun waktu sebulan, ribuan orang Papua melakukan protes di seluruh Papua Barat dan Papua. Di beberapa lokasi, unjuk rasa berkembang menjadi kerusuhan yang menewaskan lebih dari 30 orang.[10] Pemerintah merespons dengan menerapkan pemadaman internet di Papua mulai 22 Agustus 2019, mengirim 6.000 tentara dan polisi tambahan ke Papua,[11] melarang unjuk rasa,[12] membatasi akses warga negara asing ke Papua,[13] dan menangkap 733 orang.[14] Kerusuhan tersebut menyebabkan 15.000 warga sipil dievakuasi dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya.[15]

Sepanjang 2019, tercatat ada 21 kali baku tembak antara aparat keamanan (TNI dan Polri) dan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB), menewaskan sembilan prajurit TNI dan dua personel Polri serta sepuluh warga sipil.[16] Tingkat kekerasan ini berlanjut hingga 2020. Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED) mencatat bahwa pada 1 Januari-26 September 2020, terdapat 100 peristiwa konflik di Papua dan Papua Barat, yang terdiri atas 40 pertempuran, 22 kerusuhan, dan 38 kekerasan terhadap warga sipil, dengan jumlah korban jiwa mencapai 57 orang. Sebagai perbandingan, jumlah peristiwa konflik di Papua dan Papua Barat sepanjang 2019 adalah 96 peristiwa (lihat Tabel 1)

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh osimmtsn1jembrana dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Tue, 30 May 23