Penjelasan:

Ketidaksetaraan gender pada penjahit dapat terjadi karena beberapa faktor. Di banyak negara, termasuk Indonesia, penjahit tradisional umumnya adalah perempuan. Pekerjaan ini sering dianggap sebagai pekerjaan yang hanya cocok bagi perempuan, dan pria cenderung tidak dianggap sebagai calon penjahit yang potensial. Karena penjahit tradisional umumnya bekerja di rumah, banyak perempuan yang memilih menjadi penjahit sebagai sumber penghasilan tambahan yang dapat dilakukan tanpa meninggalkan tugas rumah tangga dan perawatan anak.

Namun, di sisi lain, penjahit industri sering kali merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Ini mungkin karena industri garmen biasanya memiliki mesin-mesin yang besar dan berat yang membutuhkan kekuatan fisik yang lebih besar, sehingga dianggap sebagai pekerjaan yang lebih cocok bagi pria.

Ketidaksetaraan gender pada penjahit juga dapat terlihat dalam upah yang diterima oleh penjahit perempuan dan laki-laki. Di banyak tempat, penjahit perempuan seringkali dibayar lebih rendah daripada penjahit laki-laki, meskipun keduanya melakukan pekerjaan yang sama.

Ketidaksetaraan gender pada penjahit dapat diatasi dengan upaya untuk mengubah pandangan masyarakat tentang jenis kelamin yang cocok untuk menjadi penjahit, serta menghapus diskriminasi upah dan kesempatan kerja berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, pelatihan dan dukungan untuk penjahit perempuan dapat membantu mereka memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk bekerja di industri garmen dan mengejar karir yang lebih baik dan lebih seimbang.