Berikut ini adalah pertanyaan dari lepicki033 pada mata pelajaran PPKn untuk jenjang Sekolah Menengah Atas
Jawaban dan Penjelasan
Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.
Jawaban:
dimakamkan di komplek pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, bersebelahan dengan makam kakek dan ayahandanya. Kata "haul" yang diucapkan Alissa merupakan istilah dalam bahasa Arab yang dapat diartikan peringatan hari meninggalnya seseorang. “Di lingkungan Nahdlatul Ulama, haul itu biasanya peringatan meninggalnya orang yang kita hormati. Bukan hanya mengenang, tetapi ini kesempatan untuk meneladani kehidupan dan mengambil inspirasi dari tokoh tersebut,” ujar Alissa saat dihubungi Tirto pada Jumat (22/12). Islam PoliAlissa Wahid berbicara pelan. Pada Kamis (21/12), di sebuah kafe di Menteng, Jakarta Pusat, putri kedua Abdurrahman Wahid itu sedang berbincang kepada sejumlah wartawan usai menjadi pembicara dalam diskusi peluncuran buku Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi (2017) yang ditulis Cherian George. Tak lama kemudian, dia berpamitan. “Saya mau rapat Haul Gus Dur,” ujarnya. Tepat sewindu lalu, Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, wafat. Ia seorang kiai yang pernah jadi presiden, sekaligus dijuluki dengan sebutan terhormat: guru bangsa Indonesia. Gus Dur menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada 30 Desember 2009. Sehari kemudian, jenazah Gus Durtik dan Orde Baru Selama hidupnya, baik sebagai seorang kiai maupun politisi, Gus Dur dikenal sebagai orang yang membawa pembaharuan. Namun, tindakan dan kebijakannya kerap menuai polemik. Salah satu peristiwa penting yang amat dikenang adalah Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) 1984. Muktamar tersebut diselenggarakan pada Desember 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Acara ini merupakan muktamar ke-37 sejak NU didirikan pada 1926 oleh K.H. Hasyim Asyari, kakek Gus Dur. Saat Muktamar 1984 dilaksanakan, hubungan kelompok Islam politik dengan pemerintah Orde Baru sedang menegang. Ketegangan ini adalah efek lanjutan dari kebijakan fusi partai pada masa awal kekuasaan Orde Baru dan pemaksaan asas tunggal Pancasila. Pada 1973, NU bersama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti) dilebur dalam satu partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Baca juga: Meneladani Gus Dur yang Objektif dan Memihak Rakyat Kecil Lima tahun berikutnya, pada Pemilu 1977, PPP mendapat 29,2 persen suara nasional. Menurut Fachri Ali dan Iqbal Abdurrauf Saimima dalam artikel mereka di jurnal Prisma (Desember 1981), “Merosotnya Aliran Dalam Partai Persatuan Pembangunan”, jumlah ketua wilayah PPP “hampir rata-rata berasal dari unsur NU”. Organisasi Islam tradisionalis ini dinilai sebagai kelompok Islam yang solid. Namun, menjelang Pemilu 1982, terjadi perbedaan sikap antara kiai sepuh dan kiai muda mengenai Soeharto. Kongres Gerakan Pemuda Ansor (onderbouw NU yang mengurusi pemuda) mengeluarkan keputusan yang mengejutkan: menyatakan dukungan terhadap pencalonan Seoharto sebagai presiden. Padahal, Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Kaliurang yang diselenggarakan 30 Agustus-2 September 1981 tidak melahirkan deklarasi semacam itu. “Munas mengamanatkan kepada PBNU agar calon presiden RI hendaknya diajukan secara konstitusional di Sidang Umum MPR hasil Pemilihan Umum 1982 tepat pada waktunya,” sebut keputusan Munas Alim Ulama, sebagaimana disampaikan Fachry dan Iqbal. Baca juga: Gus Dur Memelopori Rotasi Panglima TNI dari Tiap Angkatan Lalu, Pemilu 1982 pun berakhir. Hasilnya, PPP mendapat 27,8 persen suara nasional dan Soeharto terpilih sebagai presiden melalui Sidang Umum MPR. Setahun berikutnya, pada 1983, dalam sebuah pidato yang disampaikan di Riau, Soeharto mendesakkan perlunya menerima Pancasila sebagai asas tunggal kepada semua kelompok masyarakat, termasuk organisasi-organisasi keagamaan. “Gus Dur mendapat informasi intelijen dari Benny Moerdani bahwa organisasi-organisasi yang menolak mengakui Pancasila sebagai ‘asas tunggal’ akhirnya akan menghadapi ‘desakan yang tak dapat ditahan lagi’ dari pemerintah untuk menyerah,” sebut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2003). Sengkarut antara Orde Baru dengan kelompok Islam pun semakin terasa kala Peristiwa Tanjung Priok terjadi pada 12 September 1984. Seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, Abdul Qadir Djaelani, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang prov
Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh Fathirnauval dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.
Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact
Last Update: Mon, 14 Feb 22