Berikut ini adalah pertanyaan dari tishon7504 pada mata pelajaran Sejarah untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama
Jawaban dan Penjelasan
Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.
Jawaban:
Di masa itu, Normaalschool merupakan sekolah pendidikan tertinggi yang dapat dicapai mereka yang sekolah Melayu. Pemerintah Kolonial lebih mengistimewakan sekolah yang menggunakan pengantar bahasa Belanda, seperti HIS (Holland Inlandsche School) setingkat SD sekarang. HIS khusus untuk anak pribumi. Namun yang diterima tidak sembarang orang, karena sekolah ini khusus untuk anak-anak golongan ningrat atau priyayi. Anak dari keluarga melarat atau tidak mampu jangan harap bisa sekolah tinggi.
Penjelasan:
Pada awal 1950, ketika Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia, 90 persen rakyat masih buta huruf (BH). Karenanya, di kampung-kampung melalui RT dan RK (kini RW), digalakkan gerakan pemberantasan BH.
Saat banyak pabrik dan modal asing masuk ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20, Pemerintah Belanda baru mulai membangun sekolah di Hindia Belanda. Alasannya mereka memerlukan pekerja yang berpendidikan.
Namun lagi-lagi diskriminasi terhadap pribumi terjadi. Khusus untuk pribumi, mula-mula didirikan sekolah desa dengan lama pendidikan tiga tahun. Sekadar bisa baca, nulis, dan berhitung.
Kemudian, dibuka sekolah sambungan (vervolgscholen) dengan lama pendidikan lima tahun dan kemudian ditingkatkan menjadi enam tahun. Semuanya dengan pengantar bahasa Melayu (kini Indonesia).
Di masa itu, Normaalschool merupakan sekolah pendidikan tertinggi yang dapat dicapai mereka yang sekolah Melayu. Pemerintah Kolonial lebih mengistimewakan sekolah yang menggunakan pengantar bahasa Belanda, seperti HIS (Holland Inlandsche School) setingkat SD sekarang. HIS khusus untuk anak pribumi. Namun yang diterima tidak sembarang orang, karena sekolah ini khusus untuk anak-anak golongan ningrat atau priyayi. Anak dari keluarga melarat atau tidak mampu jangan harap bisa sekolah tinggi.
Sedangkan anak Belanda/Eropa atau mereka yang disamakan kedudukannya dengan warga Eropa, didirikan Europe Lager School (ELS). Setamat HIS atau ELS dapat melanjutkan ke MULO (SMP) lalu ke AMS (SMA). Murid-murid jebolan HIS-ELS murid-dapat melanjutkan pendidikan selama lima tahun di HBS (Hogere Burger School).
Sejak di HBS para siswa sudah diwajibkan menguasai bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Tidak heran, bila Bung Karno dalam usia belum 20 tahun saat di HBS sudah membaca buku dan literatur dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Demikian pula H Agus Salim.
Awalnya, jika pelajar ingin lanjutkan ke perguruan tinggi, ia harus ke Belanda. Tapi, pada 1924 didirikan Technische Hoge School (Sekolah Teknik Tinggi) di Bandung atau ITB sekarang. Pada waktu bersamaan di Batavia didirikan Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hakim). Kini gedungnya ditempati Departemen Hankam di Jl Merdeka Barat.
Tiga tahun kemudian berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran yang kini menjadi Fakultas Kedokteran UI di Salemba. Sebelumnya, pada 1851 berdiri STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera) yang pada 1908 para siswanya mendirikan gerakan Budi Utomo, yang dikenal dengan Kebangkitan Nasional.
Kalau dilihat pendidikan nasional hanya untuk kepentingan kelompok-kelompok bangsawan atau priyayi, tapi apa bedanya dengan sekarang? Pendidikan sekarang hanya dinikmati kelompok berduit, sementara yang miskin harus tersingkir.
Tingginya biaya pendidikan saat ini sangat kontras dibandingkan tahun 1950-an sampai 1960-an. Saat di SR (Sekolah Rakyat) dan kemudian SMP pada masa-masa tersebut, saya hampir tidak pernah membayar uang sekolah.
Bahkan, murid SR (kini SD) setiap pagi mendapatkan jatah satu gelas susu. Bila sakit, dengan surat dari kepala sekolah, kami dari SR Jl Kramat III dapat memeriksa kesehatan gratis ke poliklinik di Jl Kramat VI, Jakarta Pusat.
Seorang pensiunan kepala SMP negeri di Jakarta Selatan, Sopingi ketika berbincang dengan saya mengungkapkan, di masa-masa lalu sekolah umumnya gratis karena subsidi pemerintah. Bahkan, Sopingi yang mengabdi sebagai guru selama 33 tahun ini masih ingat kala uang kuliah di Universitas Indonesia (UI) hanya Rp 240 per tahun. Padahal, masa itu keadaan ekonomi jauh lebih buruk dari sekarang. Contohnya, masih banyak siswa SR ke sekolah telanjang kaki.
Di medio 1950-an, saya hanya diberikan uang jajan sepicis (10 sen). Punya uang segobang (dua setengah sen) masih cukup berharga.
Pengalaman saya waktu di SMP, dari uang jalan harian bisa nonton di Bioskop Megaria di Cikini. Selain soal uang jajan, yang berbeda antara sekolah tempo doeloe dan sekarang adalah soal kendaraan.
Sampai 1960-an, para siswa ke sekolah naik sepeda. Belum ada yang bermotor, apalagi bermobil.
Pada masa itu, seringkali diadakan pertandingan kasti antarsekolah. Karena lapangan-lapangan belum digusur, juga ada pertandingan sepak bola antarsekolah dan antarkampung. Tidak heran, tahun 1950-an PSSI merupakan kesebelasan yang tangguh dan disegani di Asia.
Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh akumasihsekolah dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.
Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact
Last Update: Wed, 07 Sep 22