Berikut ini adalah pertanyaan dari MarkWin10 pada mata pelajaran Sejarah untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama
Jawaban dan Penjelasan
Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.
Jawaban:
Berdasarkan tinggalan arkeologis, agama Buddha di Indonesia sudah berkembang sekitar abad ke V Masehi atau mungkin lebih awal. Hal ini terbukti dengan temuan arca Buddha yang terbuat dari perunggu di Sempaga Sulawesi Selatan. Arca ini bergaya Amarawati, suatu gaya seni arca India yang berkembang antara abad II sampai abad VII (Magetsari, 1981 : 3). Terlepas dari masalah dimana arca itu dibuat, kenyataannya arca itu ditemukan di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa agama Buddha di daerah itu telah berkembang. Di bukit Seguntang (dekat Palembang) ditemukan tiga buah arca Buddha yang terbuat dari bahan yang sama dengan arca tersebut di atas. Arca ini menggambarkan Buddha, Maitreya dan Avalokiteswara yang diwujudkan dalam bentuk Amoghapasa (Kempers, 1959 : 174 ; Magetsari, 1981 : 4). Ketiga arca ini gayanya sama dengan gaya arca Jawa Tengah (Kempers, 1959 : 117). Dalam berita Cina disebutkan, bahwa pendeta bangsa Cina yang bernama Fa-Hsien dalam perjalanannya dari Srilangka ke Tiongkok, terdampar di pulau yang dinamakan Yeh-p’o-t’I, yaitu Jawa pada tahun 414 Masehi, diketahui bahwa di daerah itu Brahmanisme berkembang dengan subur, sedangkan agama Buddha mengalami kemunduran (Bosch, 1974 : 27 ; Krom, 1956 : 22). Akan tetapi, setelah kedatangan Fa-Hsien itu, peranan agama Buddha di Jawa telah mengalami perubahan. Hal ini dapat disaksikan dari berita yang terdapat dalam biografi Cina mengenai kehidupan pendeta-pendeta Buddha yang berasal dari tahun 519 (Krom, 1956 : 82 ; Zoetmulder, 1965 : 233). Dalam biografi itu disebutkan bahwa pangeran dari Khasmir yaitu Pangeran Gunawarman seorang biarawan Buddha yang pergi dari Srilangka ke Jawa. Dengan bantuan ibu suri, ia berhasil menyebarkan agama Buddha di seluruh wilayah kerajaan yang dikunjunginya. Pangeran Gunawarman dikatakan telah meninggalkan pulau Jawa pada tahun 424, dan berita tentang peranannya di jawa memang bukan berita pertama, seperti dalam hal kesaksian Fa-Hsien yang disebutkan di atas. Pada akhir abad VII berita pertama yang ditulis oleh pendeta yang bernama I-tsing, karya penting ini disusun di Indonesia yaitu di Sumatera, antara 689 dan 692 tentang pengalamannya sendiri dan ia meninggalkan Tiongkok pada tahun 671 untuk belajar di India, pada Universitas atau Vihara di Nalanda (Basham, 1969 : 166) yang terkenal di seluruh dunia, karena tingginya mutu pengajaran yang diberikan dalam agama Buddha. Tetapi sebelum berangkat ke India, tinggal selama enam bulan di Sriwijaya dan kemudian di Malaya untuk mempelajari tata bahasa Sansekerta. Kemudian setelah belajar selama sepuluh tahun di Nalanda kembali ke Sriwijaya untuk menterjemahkan naskah-naskah agama Buddha ke dalam bentuk bahasa Cina. Pekerjaan itu sangat berat untuk dilakukan sendiri, maka pada tahun 689 kembali ke tanah airnya (Cina) untuk mencari asisten guna membantu pekerjaan menterjemah-kan, dan pulang ke Tiongkok pada tahun 692. Tulisan I-tsing itu memberikan bukti pentingnya Sriwijaya sebagai pusat pengajaran agama Buddha, yang mutunya dinilai sama dengan Universitas Nalanda. Kalau misalnya Sriwijaya tidak sepenting itu, maka tidak mungkin seorang pendeta ahli agama Buddha seperti I-tsing akan tertarik untuk menuntut ilmu di tempat itu. Dalam bukunya yang lain I-tsing menyebutkan seorang peziarah Cina bernama Hui-Ning, yang pada tahun 664 atau 665 datang ke Ho-Ling (Pulau Jawa). Menurut I-tsing, pada saat itu di Jawa khusus diajarkan aliran Hinayana “kendaraan kecil”. Dari sumber-sumber lain dapat diketahui bahwa belajar di Indonesia itu memerlukan pengetahuan yang cukup mendalam tentang bahasa setempat. Hal ini menunjukkan, bahwa di sini mereka berhadapan dengan pusat-pusat pendidikan agama Buddha yang sungguh-sungguh para peziarah dari Tiongkok sengaja datang untuk belajar di Indonesia. Mereka bukan terpaksa singgah karena terdampar akibat cuaca buruk, seperti halnya Fa-Hsien pada abad ke V. Di samping Hinayana di Indonesia terdapat juga aliran Mahayana “kendaraan besar”, yakni di Sumatera. Di sana ditemukan prasasti tersebut adalah adanya aliran Mahayana, misalnya mengenai permohonan “doa restu untuk keselamatan semua mahluk” (Casparis, 1956 : 1-46). Kemudian dikatakan sehubungan dengan didirikannya taman diharapkan menjadi “sarana bagi semua mahluk hidup untuk mencapai pelepasan” (Casparis, 1956 : 46). Disebutkan semua tingkatan menuju pelepasan sesuai dengan ajaran-ajaran Mahayana.
Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh nauragriselda1405 dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.
Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact
Last Update: Sun, 04 Jul 21