mengapa para kyai menganggap organisasi yang ada sebelum nu belum

Berikut ini adalah pertanyaan dari rl724846 pada mata pelajaran Sejarah untuk jenjang Sekolah Menengah Atas

Mengapa para kyai menganggap organisasi yang ada sebelum nu belum bisa mempersatukan islam?​

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:

Surabaya, 31 Januari 1926, tepat hari ini 92 tahun lalu. Sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka berkumpul di rumah Wahab Hasbullah (1888-1971). Sebagian besar mereka datang dari Jawa Timur dan masing-masing adalah tokoh pesantren. Jarang terjadi kiai senior berkumpul dalam jumlah sebanyak itu. Tapi dalam kesempatan ini, mereka tengah memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan. Setelah melalui diskusi yang gayal, mereka memutuskan mendirikan Nahdlatul Ulama untuk mewakili dan memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda. Keputusan itu merupakan langkah bersejarah. Sebelumnya, tokoh-tokoh tradisional telah membentuk berbagai organisasi kecil dan bersifat lokal yang bergerak di bidang pendidikan, ekonomi, atau keagamaan. Tetapi baru setelah NU didirikan, sebagian besar kiai mau melibatkan diri mereka dalam sebuah organisasi berskala nasional dengan program kegiatan yang luas. Baca juga: K.H. Wahab Hasbullah, Playmaker Politik Nahdlatul Ulama NU berkembang cepat pada awal 1940-an dan mendaku sebagai organisasi Islam terbesar setanah air. Belum pernah terjadi dalam dunia Islam, sebuah organisasi yang dipimpin para ulama berhasil menarik massa pengikut sedemikian banyak. Banyak organisasi Islam modernis didirikan pada kurun waktu 1910-an hingga 1920-an. Yang terbesar di antaranya adalah Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta pada 1912. Muhammadiyah merumuskan pola aktivitas yang kemudian banyak ditiru kaum modernis lainnya seperti Persatuan Islam (Persis) dan al-Irsyad. Baca juga: Kiai Dahlan & Muhammadiyah: Usaha Melumat Kejumudan Umat Polarisasi Tradisionalis-Modernis Sepanjang dua dekade pertama abad ke-20, pembicaraan tentang posisi kaum tradisionalis dan kaum modernis berjalan akrab dan penuh keterbukaan intelektual. Kedua pihak berusaha menemukan persamaan dan membangun saling pengertian. Hal ihwal ini berubah tajam pada awal 1920-an, ketika persaingan muncul di antara kedua pihak. Ada beberapa faktor yang menjadi sebab polarisasi ini. Salah satu yang paling utama adalah kritik kaum modernis terhadap otoritas kiai. Seperti dijelaskan Harry Jindric Benda dalam The Crescent and the Rising Sun (1983), mereka tidak hanya mempertanyakan kompetensi kiai untuk memutuskan hal-hal yang bersifat doktrinal dan berkaitan dengan hukum agama, tetapi juga menyerang budaya “santri berbeda dengan kiai”. Kritik itu ditanggapi dengan sikap bermusuhan oleh para kiai tradisionalis dan pendukungnya yang balik menyerang dengan mempertanyakan motivasi dan kebenaran ilmiah pemikiran kaum modernis (hlm. 31). Selain itu, ekspansi organisasi-organisasi modernis ke berbagai kota kecil di Jawa Timur dan Jawa Tengah mengancam basis ekonomi banyak pondok pesantren dan keluarga kiai yang mengendalikannya. Kaum modernis sukses merekrut para pedagang kaya dan tuan tanah yang sebelumnya menjadi pendukung materiil dan keuangan kiai. Kaum tradisionalis menganggap bahwa tantangan keagamaan yang dikombinasikan dengan tantangan materiil ini sebagai ancaman terhadap kepemimpinan kiai di tengah umatnya. Baca juga: Cap Wahabi dan Dinamika yang Tidak Hitam Putih Menurut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2003), memburuknya hubungan sangat jelas terlihat dalam Kongres al-Islam yang diselenggarakan di Cirebon, Jawa Barat, pada 1922, yang dihadiri perwakilan dari kelompok-kelompok Islam terbesar. Upaya untuk mencapai kesepakatan dalam hal reformasi pendidikan dan prasyarat melakukan ijtihad berubah menjadi acara saling menghujat di antara kedua pihak (hlm. 31). Kaum modernis menuduh kaum tradisionalis sebagai penganut politeisme (musyrik) dan kaum tradisionalis menuduh kaum modernis sebagai kafir. Perwakilan golongan tradisionalis meninggalkan kongres itu dengan menyimpan kecurigaan yang kuat terhadap kaum modernis dan menolak turut serta dalam kongres-kongres al-Islam selanjutnya (hlm. 32). Permusuhan di antara kedua aliran itu semakin memuncak dua tahun selanjutnya. Mereka berselisih pendapat mengenai siapa yang akan mewakili Indonesia dalam Muktamar Dunia Islam, yang akan diselenggarakan di Mekkah pada 1926. Baca juga: Catatan Perjalanan Para Haji Tujuan muktamar itu adalah membahas kegiatan keagamaan di Hijaz setelah berkuasanya pemimpin Wahabi, Ibnu Saud. Kaum modernis pada umumnya menyambut baik rezim baru tersebut, tetapi kaum tradisionalis khawatir apabila Ibnu Saud yang puritan akan membatasi ritual dan praktik mazhab Syafi’i.

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh Sunagakure dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Sun, 05 Dec 21