Mengapa suatu perjanjian harus dibuat tanpa ada dasar pemaksaan dari

Berikut ini adalah pertanyaan dari nessaaqilla60 pada mata pelajaran Sejarah untuk jenjang Sekolah Dasar

Mengapa suatu perjanjian harus dibuat tanpa ada dasar pemaksaan dari pihak manapun​

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:

Bagaimana Jika Terdapat Paksaan Dalam Membuat Perjanjian?

Bagaimana Jika Terdapat Paksaan Dalam Membuat Perjanjian?

Dalam kehidupan sehari-hari, kerap kali perjanjian menjadi hal yang kita temui. Saat kita berada di pasar tradisional, misalnya. Kamu melakukan perjanjian jual beli secara lisan dengan penjual sayur. Ya, perjanjian bukan terbatas pada dokumen resmi dan rumit (biasa disebut “kontrak”) yang biasa ditandatangani pebisnis, namun perjanjian juga dapat berupa lisan. Hal tersebut ditunjukkan melalui definisi “persetujuan” dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyebutkan bahwa:

Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

Pada definisi tersebut, tidak diwajibkan bahwa perjanjian ataupun kontrak harus berbentuk tertulis. Asalkan perjanjian tersebut memenuhi syarat sah perjanjian, perjanjian tersebut mengikat para pihak yang ada di dalamnya seperti undang-undang.1 Dalam membuat sebuah perjanjian, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam KUHPer, pasal 1320, terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) Kesepakatan Para Pihak, (2) Kecakapan Para Pihak, (3) Pokok Tertentu, dan (4) Suatu Sebab yang Tidak Terlarang. Pada umumnya, syarat (1) dan (2) biasa disebut dengan Syarat Subjektif dan syarat (3) dan (4) biasa disebut dengan Syarat Objektif.

Pertama, Kesepakatan Para Pihak.

Keadaan sepakat terjadi ketika terdapat pertemuan pikiran oleh para pihak perjanjian. Menurut Mariam Darus,2 sepakat akan tercapai dengan adanya tawaran/offerte dari salah satu pihak dan akseptasi/acceptatie terhadap tawaran itu dari pihak lainnya. Hasil dari sebuah kesepakatan bisa beragam dan tidak hanya terbatas pada perihal yang tertulis dalam kontrak, namun, bisa juga dalam bentuk lisan, bahasa yang tidak sempurna, isyarat atau bahkan perilaku diam, selama hal tersebut dipahami oleh para pihak perjanjian.3 Namun, hasil kesepakatan yang paling sering digunakan adalah kesepakatan tertulis karena dianggap praktis, dalam artian hal tersebut akan memudahkan pembuktian jika terdapat perbedaan pendapat para pihak di kemudian hari. Maka dari itu, pencantuman kata-kata setuju dan sepakat sangat penting dalam suatu perjanjian.

Kedua, Kecakapan Para Pihak.

Menurut pasal 1329 KUHPer, setiap orang dianggap cakap untuk membuat perjanjian kecuali undang-undang mengatur sebaliknya. Pasal 1330 KUHPer setelah revisi, menjelaskan lebih lanjut mengenai definisi ketidakcakapan, yakni: 1. Anak yang belum dewasa. Dewasa diartikan ketika anak tersebut telah menginjak umur 21 tahun 4 atau berumur dibawah 21 tahun tapi telah menikah.5 Jika pihak berkontrak belum memenuhi salah satu kriteria ini, maka pihak tersebut dianggap tidak cakap. 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (conservatorship), dalam artian orang dewasa yang suatu kondisi fisik dan mentalnya kurang sempurna sehingga tidak bisa dianggap sudah dewasa. Contohnya adalah orang yang berdasarkan putusan pengadilan dinilai boros, dungu, gila, atau mata gelap (tidak dapat berfikir terang, mengamuk).6

Ketiga, Pokok tertentu.

Berdasarkan pasal 1333 KUHPer, suatu perjanjian harus menghasilkan perikatan terhadap suatu benda/objek. Sejak awal dibuatnya perjanjian, benda/objek ini harus diketahui jenis dan nilainya 7 sehingga di kemudian hari pihak berkontrak dapat melaksanakan kewajibannya dan mengklaim haknya secara jelas. Contohnya, perjanjian untuk melakukan iklan usaha dimana pihak pertama berjanji untuk mengiklankan usaha pihak kedua sebanyak sepuluh kali, dan pihak kedua berjanji untuk membayar pihak pertama dengan nominal Rp. 100,000,00 setiap iklan dilihat oleh 500 orang.

Keempat, Suatu sebab yang tidak terlarang.

Persyaratan ini mengharuskan isi atau dasar dari perjanjian yang dilakukan tidak terafiliasi oleh suatu sebab yang terlarang menurut peraturan perundang-undangan. Pasal 1337 KUHPerdata menjelaskan bahwa sebab terlarang adalah:

Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Salah satu contoh dari sebab terlarang adalah pembuatan kontrak tertulis menggunakan bahasa inggris saja. Hal ini melanggar ketentuan pada Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 sebagaimana perjanjian yang melibatkan warga negara Indonesia diwajibkan menggunakan bahasa indonesia.

Jika salah satu syarat tidak dipenuhi akibat hukumnya apa?

Dalam hal tidak terpenuhi syarat-syarat sah tersebut, terdapat 2 (dua) akibat hukum yang dapat mempengaruhi perjanjian tersebut. Apabila syarat subjektif dari suatu perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable). Di sisi lain, apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void)

Penjelasan:

semoga membantu

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh kakafreyazinca dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Sun, 08 Jan 23