Berikut ini adalah pertanyaan dari destajanarti pada mata pelajaran PPKn untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama
Jawaban dan Penjelasan
Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.
Jawaban:
Telah menjadi pemahaman umum bahwa Indonesia hanya mengakui enam agama yang sering pula disebut sebagai agama-agama yang resmi diakui Negara. Agama-agama dimaksud adalah: Budha, Hindu, Kristen, Katolik, Islam, dan Konghucu. Agama-agama selain itu dipandang bukan sebagai agama resmi yang diakui.
Diskriminasi Penganut Agama Tidak Diakui
Pemahaman tentang agama yang “diakui” ini kemudian diadopsi ke dalam produk legislasi dan praktek birokrasi. Pemahaman ini ternyata berimplikasi pada pengecualian hak-hak kewarganegaraan para penganut agama yang dinilai tidak “diakui”. Mulai dari minimnya pengakuan persamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan, diskriminasi pelayanan publik, pembatasan hak beragama, bahkan sampai mendorong intoleransi di tengah-tengah masyarakat.
Lihat saja KTP para penganut agama di luar enam agama tersebut. Identitas keagamaan mereka tidak dapat dicatatkan ke dalam kolom agama di KTP mereka yang kemudian berimbas pada diskriminasi dalam pencatatan perkawinan, kelahiran, bahkan kematian. Tak berhenti di situ, diskriminasi terhadap warga negara penganut agama tidak “diakui” juga merambah ke sektor pelayanan publik lainnya. Misalnya di sektor pendidikan, para siswa yang berasal dari orang tua penganut agama atau kepercayaan di luar agama yang “diakui”, selama ini tidak memperoleh layanan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri.
Di masa lalu, demi mendapatkan layanan kependudukan para penganut agama atau kepercayaan minoritas terpaksa mencatatkan salah satu dari agama yang “diakui” ke dalam kolom agama di KTP-nya, meski pada kenyataannya mereka masih mempraktekan agama atau kepercayaan asalnya.
Baru pada 2006, para penganut agama atau kepercayaan minoritas mulai dapat memperoleh KTP dengan kolom agama yang tidak diisi. Meski demikian, diskriminasi tetap saja berlangsung. Sistem layanan publik yang saat ini serba terkomputerisasi, seringkali tidak dapat mengakomodasi pengosongan kolom agama. Hal ini menyebabkan terhambatnya akses layanan publik yang berkelanjutan. Seperti di sektor pendidikan, sistem Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) akan menjawab “belum diisi dengan agama yang benar”, manakala para penganut kepercayaan mencantumkan identitas agama atau kepercayaan asalnya.[1]
Tak adanya pengakuan terhadap kelompok agama minoritas di luar agama “diakui” dalam administrasi kependudukan pada prakteknya telah mendorong aksi intoleransi di tengah masyarakat. Penganut Kepercayaan Sapto Darmo di Brebes ditolak menguburkan jenazah warganya di Tempat Pemakaman Umum. Sementara di Tangerang Selatan, kegiatan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia dibubarkan paksa oleh Front Pembela Islam.[2] Dalam beberapa peristiwa tersebut, tuduhan bahwa penganut kepercayaan adalah orang-orang yang tidak beragama kerap menjadi dasar penolakan.
Landasan Yuridis Pengakuan Agama
Masalah pengakuan negara terhadap suatu agama atau kepercayaan sebagai agama yang “diakui” sebagaimana diuraikan di atas telah menunjukkan kecenderungan perlakuan diskriminatif dan intoleran terhadap mereka yang termasuk dalam kelompok penganut agama atau kepercayaan di luar agama yang “diakui”. Pertanyaannya kemudian adalah apakah di dalam sistem hukum dan ketatanegaraan di Indonesia terdapat pengaturan tentang agama yang “diakui”?
Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pengakuan terhadap lima agama, yakni Kristen, Katolik, Hindu, Islam, dan Budha, dapat ditemukan dalam praktek pelayanan administrasi kependudukan. Masyarakat yang berasal dari agama atau kepercayaan di luar lima agama dimaksud terpaksa memilih salah satunya demi memperoleh kemudahan dalam pelayanan publik, seperti pengurusan KTP, layanan kesehatan, perkawinan, akta kelahiran, pendidikan, atau pemakaman.
Praktek administrasi kependudukan yang hanya mengakui lima agama ternyata didorong oleh adanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 477/74054 tanggal 18 Nopember 1978 tentang Petunjuk pengisian kolom Agama. Dimana disebutkan bahwa bagi masyarakat yang tidak menganut salah satu dari kelima agama yang resmi diakui oleh pemerintah, maka kolom agama pada formulir perdaftaran perkawinannya cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar atau (–).
.
.
Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh massanjayaa dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.
Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact
Last Update: Thu, 03 Jun 21