Tuliskan perbedaan wewenang Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dalam penyidikan

Berikut ini adalah pertanyaan dari meyke1833 pada mata pelajaran PPKn untuk jenjang Sekolah Menengah Atas

Tuliskan perbedaan wewenang Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dalam penyidikan dan penyelidikan perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia! ​.

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:ihak Terkait diwakili Wakil Ketua Internal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noor Laila seusai menyampaikan keterangannya dalam sidang uji materi UU Pengadilan Hak Asasi Manusia, Selasa (8/9) di RUang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.

Wakil Ketua Internal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noor Laila mengakui terdapat perbedaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Perbedaan tersebut yang menyebabkan beberapa kasus pelanggaran HAM berat tak kunjung tuntas.

Pada sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM), Ia mengatakan salah satu hal yang menjadi perbedaan persepsi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung adalah soal hukum formil yang menyatakan penyelidik harus di bawah sumpah. Padahal dalam UU Pengadilan HAM, lanjut Laila, tidak ada aturan terkait penyelidik harus melakukan sumpah.

“Itulah yang kami sampaikan kepada Jaksa Agung bahwa proses 3 kasus sebelumnya juga tidak dilakukan sumpah. Kemudian, 7 berkas yang masih sekarang dalam proses di Kejagung tentu kami juga menolak untuk melakukan sumpah,” jelasnya dalam sidang perkara nomor 75/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (8/9).

Selain itu, dalam menentukan pelaku, Komnas HAM menyatakan tidak memiliki kewenangan menentukan pelaku pelanggaran HAM berat karena hasil penyelidikan masih berupa dugaan. Namun melalui berkas hasil penyelidikan Komnas HAM, beberapa keterangan saksi telah menyebutkan nama. “Di situ sebenarnya beberapa keterangan dari saksi menyebutkan nama yang diduga sebagai pelaku, tapi tentu kami Komnas HAM tidak bisa menyatakan bahwa mereka adalah tersangka karena itu merupakan kewenangan penyidik,” jelasnya mewakili Komnas HAM sebagai Pihak Terkait.

Lantaran perbedaan persepsi tersebut, dari 10 kasus pelanggaran HAM berat sejak diundangkannya UU Pengadilan HAM, masih ada 7 kasus yang belum jelas ujung pangkalnya. Ketujuh kasus tersebut, yakni kasus Trisakti Semanggi I dan Semanggi II, kasus Mei 1998, kasus Wasior 2001-2002 dan Wamena 2003, kasus penghilangan paksa 1997-1998, kasus Talangsari 1989, kasus penembakan misterius 1982-1985, dan kasus tragedi 1965-1966. Laporan penyelidikan dari kasus-kasus tersebut telah disampaikan pada Kejagung namun belum ada penyelidikan dan penuntutan.

“Selama 13 tahun terjadi bolak-balik berkas antara Komnas HAM dengan Jaksa Agung  tanpa ada titik temu. Berkas perkara tersebut posisinya saat ini berada di Jaksa Agung, Komnas HAM telah mengembalikannya disertai dengan jawaban atas petunjuk dari Jaksa Agung pada 17 Juli 2014,” tutur Laila.

Membandingkan dengan negara-negara lain, Laila menyatakan tidak pernah ada model penyelesaian yang tunggal dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. UU Pengadilan HAM, menurutnya, telah membuka peluang untuk dilakukan dengan cara rekonsiliasi, namun aturan tentang rekonsiliasi telah dibatalkan MK dan sampai saat ini belum ada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru. “Dalam putusan MK yang membatalkan Undang-Undang KKR sebenarnya juga ada peluang pemerintah bahwa presiden boleh melakukan langkah politik untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat. Tentu inisiatif ini juga harus datang dari pemerintah,” imbuhnya.

Namun terhadap permohonan Pemohon, menurut Komnas HAM, ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan penjelasannya justru memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, serta perlakuan sama di hadapan hukum dengan adanya frasa ‘kurang lengkap’. Pengembalian hasil penyelidikan kepada penyelidik karena faktor kurang lengkap justru agar penyelidikan pelanggaran HAM benar-benar memenuhi persyaratan untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan.

Frasa ‘kurang lengkap’, pada Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan penjelasannya membuktikan undang-undang tersebut menjunjung tinggi persamaan hak dan kedudukan dan tidak bersifat diskriminatif setiap orang dalam hukum. “Mengingat perkara pelanggaran HAM berat dapat dilakukan oleh sebuah organisasi atau perorangan yang memiliki kekuasaan, sehingga Kejaksaan dan Komnas HAM harus betul-betul serius dan bekerja keras dalam menemukan dan menentukan pelaku sebenarnya dalam proses penyelidikan pelanggaran HAM,” ujar Laila.

Petunjuk Belum Terpenuhi

Sedangkan Kasubdit HAM pada Bagian Jampidsus Tugas Utoto mengatakan bolak-baliknya berkas perkara penyelidikan pelanggaran HAM berat antara Kejagung dan Komnas HAM disebabkan karena petunjuk yang disampaikan Jaksa Agung baik formil maupun materiil

Penjelasan:

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh luthfiyyahaulaaula dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Mon, 20 Feb 23