Tulislah naskah piagam jakarta hasil sidang BPUPKI kedua​

Berikut ini adalah pertanyaan dari nabilsoleman14 pada mata pelajaran PPKn untuk jenjang Sekolah Menengah Atas

Tulislah naskah piagam jakarta hasil sidang BPUPKI kedua​

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:

Sidang Resmi Kedua BPUPK - Naskah Piagam Jakarta :

Sesuai dengan saran dari Panitia Sembilan, BPUPK menggelar sidang resmi keduanya dari 10 hingga 17 Juli 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno. Tujuannya adalah untuk membahas permasalahan terkait undang-undang dasar, termasuk rancangan mukadimah yang terkandung dalam Piagam Jakarta. Pada hari pertama, Soekarno melaporkan hal-hal yang telah dicapai selama pembahasan pada masa reses, termasuk Piagam Jakarta. Ia juga mengabarkan bahwa Panitia Kecil telah menerima Piagam Jakarta secara bulat. Menurut Soekarno, piagam ini mengandung "segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai [BPUPK]".

Pada hari kedua sidang (tanggal 11 Juli), tiga anggota BPUPK menyampaikan penolakan mereka terhadap tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Salah satunya adalah Johannes Latuharhary, seorang anggota beragama Protestan yang berasal dari Pulau Ambon. Ia merasa bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta akan menimbulkan dampak yang "besar sekali" terhadap agama lain. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tujuh kata tersebut akan memaksa suku Minangkabau untuk meninggalkan adat istiadat mereka dan juga berdampak terhadap hak tanah yang berlandaskan pada hukum adat di Maluku. Dua anggota lain yang tidak setuju dengan tujuh kata adalah Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Menurut Djajadiningrat, tujuh kata dapat menimbulkan fanatisme karena seolah memaksakan umat Islam untuk menjalankan hukum syariat. Salah satu anggota Panitia Sembilan, Wahid Hasjim, menampik kemungkinan terjadinya pemaksaan karena adanya dasar permusyawaratan. Ia juga berkomentar bahwa meskipun ada anggota yang menganggap tujuh kata itu "tajam", ada pula yang menganggapnya "kurang tajam".

Dua hari sesudahnya, pada 13 Juli, Hasjim menggagas perubahan Pasal 4 Rancangan Undang-Undang Dasar agar Presiden Indonesia harus beragama Islam. Ia juga mengusulkan agar Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar (yang berkaitan dengan agama) diamendemen untuk menjadikan Islam sebagai agama negara ditambah dengan klausul yang menjamin kebebasan beragama untuk kaum non-Muslim. Menurutnya, hal ini diperlukan karena hanya agama yang dapat membenarkan penggunaan kekuatan untuk mengambil nyawa dalam konteks pertahanan nasional. Anggota BPUPK lainnya, Otto Iskandardinata, menentang usulan agar Presiden Indonesia harus Muslim, dan mengusulkan agar tujuh kata di Piagam Jakarta diulang dalam Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar.

Piagam Jakarta kembali dibahas dalam rapat yang digelar pada 14 Juli, salah satunya karena terdapat rencana untuk menggunakan isi dari piagam tersebut dalam deklarasi kemerdekaan Indonesia. Dalam rapat ini, Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo mengusulkan agar frasa "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Soekarno menolak usulan tersebut dengan argumen bahwa tujuh kata merupakan hasil kompromi :

“ Jadi panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin "Jakarta Charter", yang disertai dengan perkataan tuan anggota yang terhormat Soekiman, "Gentlemen Agreement", supaya ini dipegang teguh diantara pihak Islam dan Kebangsaan."

Hadikoesoemo juga berpandangan bahwa umat Islam akan merasa dihina jika ada aturan yang berbeda untuk Muslim dan non-Muslim. Soekarno menjawab bahwa jika frasa tersebut dihapus, akan muncul tafsir bahwa kaum non-Muslim juga wajib menjalankan syariat Islam. Hadikoesoemo menampik kekhawatiran Soekarno karena menurutnya "Pemerintah tidak boleh memeriksa agama". Pada akhirnya, Hadikoesoemo berhasil diyakinkan oleh anggota lain dari golongan Islam, Abikusno Tjokrosujoso, bahwa tujuh kata sebaiknya dibiarkan seperti itu demi persatuan dan perdamaian.

Pada sore hari tanggal 15 Juli, Hadikoesoemo kembali mengajukan usulannya. Karena merasa kekhawatirannya tidak dijawab dengan memuaskan, ia menyatakan penolakannya terhadap kompromi dalam Piagam Jakarta. Kemudian, pada tanggal 16 Juli, Soekarno membuka rapat dengan permohonan kepada kelompok kebangsaan untuk mau berkorban dengan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam batang tubuh undang-undang dasar dan juga dengan menambahkan klausul bahwa Presiden Republik Indonesia harus Muslim. Kelompok kebangsaan memenuhi permohonan ini, sehingga BPUPK menyetujui sebuah rancangan undang-undang dasar yang mengandung tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29, serta sebuah klausul yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus beragama Islam.

Semoga Bermanfaat:)

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh masihterop dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Fri, 16 Dec 22