Berikut ini adalah pertanyaan dari novianbima6 pada mata pelajaran IPS untuk jenjang Sekolah Dasar
Jawaban dan Penjelasan
Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.
Jawaban:
Pak Ton dilahirkan sebagai anak kesembilan dari 12 bersaudara. Pak Ton yang pernah memperoleh pendidikan militer di Belanda ini, memulai kariernya di dunia militer di Divisi Siliwangi sebagai seorang komandan regu, pleton dan kemudian komandan batalyon pada masa perang kemerdekaan (1946-1949). Ia juga pernah menjabat sebagai kepala staf brigade di Siliwangi, dan kemudian bertugas di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) (1954-1956) dan sebagai Wakil Gubernur Akademi Militer Nasional (1956-1959). Ia juga mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai Staf Kodam Siliwangi hingga dua kali, yaitu pada 1960 dan 1964-1965.
Pada 1962-1964 ia mendapat tugas sebagai atase militer di London, Inggris. Selesai dengan tugasnya di London, H.R. Dharsono diangkat menjadi Asisten III Panglima Angkatan Darat (1965-1966) dan kemudian sebagai Pangdam ke-9 Kodam VI Siliwangi (kini Kodam III) (1966-1969).
Pada 1969, Pak Ton diangkat menjadi Duta Besar di Thailand. Tugas ini dijalaninya hingga 1972. Ia kemudian diangkat menjadi Duta Besar di Kamboja (1972-1975). Ia kemudian menjadi Ketua Delegasi RI pada International Commission for Control and Supervision (ICCS) dalam upaya mengakhiri Perang Vietnam (1973-1975)..
Pada 1976, ia diangkat menjadi Sekretaris Jenderal ASEAN, tetapi jabatan ini tidak sempat dijalaninya hingga selesai. Pada 1978 ia dicopot dari jabatannya itu karena terlibat dalam kelompok Petisi 50, yaitu sekelompok tokoh politik, militer dan masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan Presiden Soeharto saat itu.
Setelah itu ia beralih ke swasta menjadi direktur utama PT. Propelat Bandung (1978-1980). Ia juga pernah menjadi Sekjen pada Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI Angkatan Darat.
Ditahan dan dipenjarakan
Pada 1984 terjadi pengeboman atas beberapa kantor Bank Central Asia (BCA) di Jakarta, yaitu BCA di Jl. Pecenongan, di kompleks pertokoan Glodok, dan di Jl. Gajah Mada. Lima orang ditangkap dan dipenjarakan sehubungan dengan peristiwa ini. Namun kemudian beberapa tokoh Petisi 50 pun ikut ditangkap, yaitu H.M. Sanusi dan A.M. Fatwa serta H.R. Dharsono.
Pada 8 November 1984 ia ditahan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di LP Salemba. Ia diajukan ke pengadilan pada 19 Agustus 1985 dan dinyatakan bersalah melakukan delik politik dan tindak subversif, menghadiri rapat-rapat yang berkaitan dengan pengeboman tersebut. Pada 8 Januari 1986 pengadilan menjatuhkan hukuman tahanan selama 10 tahun kepadanya. Tuntutan ini lima tahun lebih ringat daripada tuntutan jaksa.
Pak Ton menyatakan naik banding atas hukuman 10 tahun yang dijatuhkan itu. Pengadilan Tinggi kemudian mengurangi masa hukumannya menjadi tujuh tahun. Masa hukuman ini dikukuhkan oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. H.R. Dharsono dibebaskan setelah 5 tahun mendekam di penjara. Ia keluar dari LP Cipinang pada 16 September 1990 karena remisi yang diterimanya setiap tanggal 17 Agustus.
Menurut keluarganya, selepas dari tahanan, Pak Ton tidak mendendam kepada siapapun dan tidak pernah mengeluh tentang apa yang telah dialaminya. Itu semua dianggapnya sebagai risiko dari perjuangan yang telah diperhitungkannya.
Sakit dan akhir hayat
Sejak keluar dari LP Cipinang, Pak Ton menginap penyakit bronkitis. Ia kemudian menderita kanker. Setelah dua minggu dirawat di Rumah Sakit Advent Bandung, ia menghembuskan napasnya yang terakhir pada pagi hari, 5 Juni 1996. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Sirna Raga, Bandung, dengan upacara kemiliteran. H.R. Dharsono kehilangan haknya untuk dikebumikan di Taman Makam Pahlawan karena ia pernah dipenjarakan selama lebih dari satu tahun.
Pemakamannya di tempat pemakaman umum ini sempat menimbulkan kekecewaan di kalangan teman-teman dekat Pak Ton. Ali Sadikin, misalnya, menyatakan bahwa status Pak Ton tidak jelas. Memang ia pernah dipenjarakan, tetapi tanda-tanda kehormatan dan pensiunnya tidak pernah dicabut. Meskipun demikian, keluarga Pak Ton tidak pernah mengeluh dan menyatakan telah siap menerima kenyataan ini.
Keluarga
H.R. Dharsono meninggalkan seorang istri, Andrijana, enam orang anak dan 14 orang cucu.
ini asli gak copy paste
Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh niaassyifa10 dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.
Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact
Last Update: Sun, 09 Jan 22