Jawaban:

Seiring berlarut-larutnya perang Jawa, Pangeran Diponegoro kesulitan mempertahankan jumlah pasukannya. Tentara kolonial Belanda, bagaimanapun, dapat mengisi barisannya dengan pasukan pribumi dari Sulawesi, dan kemudian dengan bala bantuan Eropa dari Belanda sendiri. Komandan Belanda, Jenderal de Kock, mengangkat pengepungan Yogyakarta pada tanggal 25 September 1825. Pangeran Diponegoro kemudian memulai perang gerilya yang ekstensif. Baru pada tahun 1827 tentara Belanda dapat menguasai melalui penempatan detasemen keliling pasukan kolonial, yang berbasis di sejumlah benteng kecil yang terletak di seluruh Jawa Tengah. Diperkirakan 200.000 tewas selama konflik, 8.000 di antaranya adalah orang Belanda. Pemberontakan akhirnya berakhir pada tahun 1830, setelah Pangeran Diponegoro ditipu untuk masuk ke Belanda

menguasai wilayah dekat Magelang, percaya dia ada di sana untuk negosiasi untuk kemungkinan gencatan senjata. Dia ditangkap dan diasingkan ke Manado dan kemudian ke Makassar, di mana dia meninggal pada tahun 1855. Meskipun perang telah menghabiskan banyak uang Belanda, pengamanan Jawa memungkinkan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menerapkan Cultuurstelsel ("Sistem Kebudayaan") di Jawa, tanpa oposisi lokal. Diimplementasikan pada tahun 1830 oleh gubernur jenderal yang baru, Johannes van den Bosch, sistem penanaman ini mengharuskan 20% dari tanah desa harus dikhususkan untuk tanaman pemerintah untuk diekspor atau, sebagai alternatif, petani harus bekerja di perkebunan milik pemerintah selama 60 hari dalam setahun. . Kebijakan tersebut membawa kekayaan yang sangat besar bagi Belanda dan sekutu asli mereka melalui ekspor hasil bumi untuk dijual. Ini membawa Belanda kembali dari ambang kebangkrutan, dan membuat Hindia Belanda menjadi koloni yang mandiri dan menguntungkan.