Mengenal Peradaban Laut Melalui Sehimpun KisahSebagai seorang yang tumbuh besar

Berikut ini adalah pertanyaan dari Fatika2006 pada mata pelajaran B. Indonesia untuk jenjang Sekolah Menengah Atas

Mengenal Peradaban Laut Melalui Sehimpun KisahSebagai seorang yang tumbuh besar di daratan, laut adalah narasi yang asing bagi saya. Setiap kali mendengar semboyan “Nenek moyangku seorang pelaut, yang muncul dalam benak justru karakter kartun Popeye, Si Peniup Pipa Cangklong. Popeye si pelaut… tut-tuuut…

Ketika dewasa, pengetahuan mengenai laut pun sebatas dalam struktur wacana pemerintah. Misalnya, politik luar negeri Indonesia ‘poros maritim dunia’. Atau, Menteri Kelautan dan Perikanan yang gemar menenggelamkan kapal-kapal asing yang menerobos zona perairan Indonesia. Selain itu, laut pun tereduksi menjadi brosur iwisata dan proses pelelangan ihasil laut. Alam bahari dipromosikan sebagai sulur-sulur pelancongan, sementara biotanya dihitung-hitung sebagai nilai ekspor negara.

Bahwa laut menghimpun peradaban masyarakat, tidaklah hidup dalam kepala saya.

Dalam situasi itulah sehimpun kisah Nelayan itu Berhenti Melaut karya Safar Banggai seperti suara yang menyeruak dari kedalaman laut. Membaca cerpen demi cerpennya, saya terbawa pada pengalaman-pegalaman fisik si penulis, bukan sekadar hasil pelacakan literal. Apalagi, konon, si penulis memang lahir dan tumbuh di peradaban Banggai Laut, Sulawesi Tengah.

Safar Banggai berhasil mengelola berbagai topik, mulai dari perilaku tokoh sebagai orang pesisir dalam kehidupan sehari-hari hingga bentang sejarah laut yang hidup dalam tradisi. Namun, paling mencolok, atau setidaknya paling menarik bagi saya ialah soal kritik Safar terhadap isu sosial yang terjadi di masyarakatnya, atau paradigma umum yang bias terhadap masyarakatnya.

Cerpen “Makan Mayat Manusia” berkisah tentang seorang warga desa yang menggunakan potas ikan. Si warga mati karena ledakan potasnya sendiri. Alih-alih cerita soal azab Tuhan, cerpen ini mengkritik institusi pemerintah dengan pungkasan judul berita koran: Kepala Kepolisisan Kabupaten Ditangkap Polisi Karena Menjual Bahan Peledak Alias Pupuk (hal. 16). Kritik sosialnya bukan pada perkara masyarakat yang menggunakan peledak, melainkan skakmat untuk aparat yang justru membiarkan dan menyediakan barang tersebut.

Kritik soal pemerintah juga hadir dalam cerpen “Leppa”. Safar menuai sesal kepada aturan pemerintah yang memindahkan masyarakat dari Leppa—semacam rumah kapal—ke daratan. Konflik sosial yang terjadi akibat aturan tak luput disinggung.

Tak hanya pemerintah, peneliti pun menjadi bahan kritikan dalam cerpennya. Masih dalam cerpen yang sama, Safar mengingatkan para akademisi yang seringkali menjadikan subyek peneliti sebagai narasumber semata. “Belajarlah pada tradisi Leppa, Tuan” (hal. 36) adalah isyarat bahwa riset etnografi tak seharusnya sekadar didampingi penerjemah dan melontar tanya ina-inu saja. Bahwa etika riset etnografi seharusnya mencari jawaban melalui pengalaman meresap (immerse) ke dalam masyarakatnya, yakni dengan mempraktikkan laku masyarakat setempat. Sehingga, jawaban bisa diperoleh dari proses berpraktik menjadi masyarakat itu sendiri.

Safar pun menyindir tabiat peneliti yang bias, membawa pengetahuan-pengetahuan modernnya untuk mengamati pengetahuan lokal. Padahal, lensa saintifik yang modern tidak selalu mampu membaca yang tradisi.

Dalam cerpen “Manusa Ikan”, si peneliti dikisahkan tidak mendapat jawaban dari masyarakat lokal, maka, si peneliti berburu literatur di kampus-kampus besar. Cerpen pun diakhiri dengan perkataan narator “Dia menyimpulakn hasil penelitiannya di simposium beken. Dan, dia menyimpulkan bahwa orang laut adalah keturunan ikan”. Seolah-olah ingin menyindir sumber pengetahuan para akademisi yang sekadar asumsi, bukan berbasis pengetahuan masyarakat asli. Sebuah gambaran mitos akademik yang umum.

teks resensi selanjutnya ada di foto ya kak dan
jawab pertanyaan yang ada di foto nya.. jawab yang nomor d , e , g , j
aja ka tugasnya

ASAL ¡¡ OWH SAYA BLACKLIST / REPORT !!!


Mengenal Peradaban Laut Melalui Sehimpun KisahSebagai seorang yang tumbuh besar di daratan, laut adalah narasi yang asing bagi saya. Setiap kali mendengar semboyan “Nenek moyangku seorang pelaut, yang muncul dalam benak justru karakter kartun Popeye, Si Peniup Pipa Cangklong. Popeye si pelaut… tut-tuuut…Ketika dewasa, pengetahuan mengenai laut pun sebatas dalam struktur wacana pemerintah. Misalnya, politik luar negeri Indonesia ‘poros maritim dunia’. Atau, Menteri Kelautan dan Perikanan yang gemar menenggelamkan kapal-kapal asing yang menerobos zona perairan Indonesia. Selain itu, laut pun tereduksi menjadi brosur iwisata dan proses pelelangan ihasil laut. Alam bahari dipromosikan sebagai sulur-sulur pelancongan, sementara biotanya dihitung-hitung sebagai nilai ekspor negara.Bahwa laut menghimpun peradaban masyarakat, tidaklah hidup dalam kepala saya.Dalam situasi itulah sehimpun kisah Nelayan itu Berhenti Melaut karya Safar Banggai seperti suara yang menyeruak dari kedalaman laut. Membaca cerpen demi cerpennya, saya terbawa pada pengalaman-pegalaman fisik si penulis, bukan sekadar hasil pelacakan literal. Apalagi, konon, si penulis memang lahir dan tumbuh di peradaban Banggai Laut, Sulawesi Tengah.Safar Banggai berhasil mengelola berbagai topik, mulai dari perilaku tokoh sebagai orang pesisir dalam kehidupan sehari-hari hingga bentang sejarah laut yang hidup dalam tradisi. Namun, paling mencolok, atau setidaknya paling menarik bagi saya ialah soal kritik Safar terhadap isu sosial yang terjadi di masyarakatnya, atau paradigma umum yang bias terhadap masyarakatnya.Cerpen “Makan Mayat Manusia” berkisah tentang seorang warga desa yang menggunakan potas ikan. Si warga mati karena ledakan potasnya sendiri. Alih-alih cerita soal azab Tuhan, cerpen ini mengkritik institusi pemerintah dengan pungkasan judul berita koran: Kepala Kepolisisan Kabupaten Ditangkap Polisi Karena Menjual Bahan Peledak Alias Pupuk (hal. 16). Kritik sosialnya bukan pada perkara masyarakat yang menggunakan peledak, melainkan skakmat untuk aparat yang justru membiarkan dan menyediakan barang tersebut.Kritik soal pemerintah juga hadir dalam cerpen “Leppa”. Safar menuai sesal kepada aturan pemerintah yang memindahkan masyarakat dari Leppa—semacam rumah kapal—ke daratan. Konflik sosial yang terjadi akibat aturan tak luput disinggung.Tak hanya pemerintah, peneliti pun menjadi bahan kritikan dalam cerpennya. Masih dalam cerpen yang sama, Safar mengingatkan para akademisi yang seringkali menjadikan subyek peneliti sebagai narasumber semata. “Belajarlah pada tradisi Leppa, Tuan” (hal. 36) adalah isyarat bahwa riset etnografi tak seharusnya sekadar didampingi penerjemah dan melontar tanya ina-inu saja. Bahwa etika riset etnografi seharusnya mencari jawaban melalui pengalaman meresap (immerse) ke dalam masyarakatnya, yakni dengan mempraktikkan laku masyarakat setempat. Sehingga, jawaban bisa diperoleh dari proses berpraktik menjadi masyarakat itu sendiri.Safar pun menyindir tabiat peneliti yang bias, membawa pengetahuan-pengetahuan modernnya untuk mengamati pengetahuan lokal. Padahal, lensa saintifik yang modern tidak selalu mampu membaca yang tradisi.Dalam cerpen “Manusa Ikan”, si peneliti dikisahkan tidak mendapat jawaban dari masyarakat lokal, maka, si peneliti berburu literatur di kampus-kampus besar. Cerpen pun diakhiri dengan perkataan narator “Dia menyimpulakn hasil penelitiannya di simposium beken. Dan, dia menyimpulkan bahwa orang laut adalah keturunan ikan”. Seolah-olah ingin menyindir sumber pengetahuan para akademisi yang sekadar asumsi, bukan berbasis pengetahuan masyarakat asli. Sebuah gambaran mitos akademik yang umum.teks resensi selanjutnya ada di foto ya kak danjawab pertanyaan yang ada di foto nya.. jawab yang nomor d , e , g , jaja ka tugasnyaASAL ¡¡ OWH SAYA BLACKLIST / REPORT !!!​

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Ulasan peresensi berdasarkan cerita berjudul "Nelayan Itu Berhenti Melaut" adalah cerpen tersebut membuat peresensi kesal, bukannya terpana. Peresensi merasa bahwa tokoh Safar membangun narasi yang agak membingungkan serta sulit untuk ditangkap fokusnya.

Maksud perkataan narator pada kalimat terakhir dalam cerpen "Manusia Ikan" adalah kalimat tersebut bersifat sarkastik dengan tujuan untuk menyindir sumber pengetahuan para akademisi yang sekedar asumsi, bukan berbasis pengetahuan dari masyarakat asli. Hal ini merupakan gambaran dari mitos akademik yang umum.

Riset etnografi tidak seharusnya sekadar didampingi penerjemah dan melontar tanya saja karena seharusnya riset etnografi mencari jawaban melalui pengalaman dengan cara meresap dan mendalami dalam kehidupan masyarakat, yaitu dengan menerapkan tingkah laku masyarakat itu sendiri. Sehingga jawaban dari persoalan tersebut dapat ditemukan dari proses berpraktik menjadi masyarakat itu sendiri, bukan dari asumsi semata.

Tanggapan kami mengenai isi teks resensi tersebut ialah teks resensi di atas sudah cukup memberikan penjelasan mengenai karya sastra yang diulas, terutama dari segi gaya bahasa karya sastra. Gaya bahasa yang digunakan dalam teks resensi tersebut juga mudah dipahami. Namun, teks resensi tersebut tidak memberikan informasi lain dari karya sastra, seperti tahun terbit, tebal halaman, ukuran buku, maupun harga dari buku tersebut.

Pembahasan

Teks resensi merupakan salah satu jenis teks yang bertujuan untuk mengulas isi dari suatu karya sastra, baik itu buku, film, lagu, puisi, maupun karya sastra lainnya. Teks resensi memberikan gambaran kepada pembaca mengenai layak atau tidaknya karya sastra tersebut untuk dibeli atau dinikmati.

Pelajari lebih lanjut

Pelajari lebih lanjut tentang perbedaan teks resensi dan teks ulasan pada yomemimo.com/tugas/1728135

#BelajarBersamaBrainly

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh vaalennnnnn dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Sun, 05 Jun 22