Berikut ini adalah pertanyaan dari chikotan105 pada mata pelajaran B. Indonesia untuk jenjang Sekolah Menengah Atas
Kisah Mat Kanon, Penari Kepercayaan Bung Karno“Kuncaraning Bangsa Dumunung Haneng Luhuring Budaya” pesan yang selalu diingat
oleh Rahmat Basroil alias Mat Kanon. Pesan ini disampaikan langsung oleh Presiden pertama
RI, Soekarno, kepadanya pada tahun 1964 silam. Ungkapan bahasa Jawa itu kurang lebih
bermakna “Tingginya derajat bangsa terletak pada budayanya.” Ketika itu, Mat Kanon, masih
menjadi penari kepercayaan Bung Karno. Ia selalu ikut lawatan Bung Karno ke luar negeri
untuk membawa misi kebudayaan. Ia dan kawan-kawannya menari Jawa klasik hingga
wayang orang. Mat kanon kini berusia hampir 70 tahun. Namun, jiwa dan raganya masih
bugar melakukan aktivitas seni olah tubuh tersebut. Seolah tak peduli dengan hingar bingar
modernisasi dunia, terutama dunia seni dan budaya.
Nama Mat Kanon tersemat pada dirinya karena bekas luka di kakinya akibat granat
(canon) penjajah ketika ia masih kecil. Luka itu tak membuat Mat Kanon surut mencintai seni
tari. “Seperti pesan Bung karno, saya masih ingin melihat anak-anak sekarang tidak lupa
dengan budayanya sendiri. Negara ini akan dihormati dunia kalau rakyatnya masih
menjunjung tinggi budayanya,” ungkap Mat Kanon.
Di usia senjanya, Mat Kanon masih aktif melatih anak-anak muda sekitar tempat
tinggalnya di Dusun Bulu, Desa Podosoko, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang,
untuk menari Jawa klasik dan wayang orang. Kakek 13 cucu ini mengaku kerap rela tak
mendapat upah demi tetap bisa menularkan ilmunya. Kecintaannya pada dunia tari dimulai
sejak usia Sekolah Rakyat (SR)—sekarang Sekolah Dasar (SD). Saat itu ia sering melihat
pertunjukan wayang orang di kampung-kampung. Ia mulai belajar sendiri sampai
menemukan guru tari. “Saya belajar alami saja, terus bertemu dengan guru, ikut menari dari
kampung ke kampung. Sejak SMP dan SMA saya sudah mengajar tari anak-anak.
Keinginan Mat kanon itu ditentang keras oleh sang kakek. Kakeknya yang religius
menginginkan Mat Kanon belajar agama di pesantren dan majelis-majelis pengajian. Mat
Kanon remaja menolak keinginan kakeknya itu. Ia tetap bersikukuh menekuni tari meski tak
direstui orang tuanya dan memilih meninggalkan rumah. “Saya minggat (kabur) dari rumah.
Pergi ke Gunung Kidul, hidup seadanya di gunung. Sampai pada suatu hari ikut lomba di
Semarang dan menang juara 1. Setelah menang itu saya ketemu guru tari lagi dan diajari.
Mat Kanon melanjutkan, setelah dari Semarang, dirinya pergi ke Purwokerto bersama
guru barunya. Hingga suatu ketika ia dipercaya pentas menari di hadapan Presiden Soekarno
pada acara kenegaraan di Purwokerto. Dari situlah, Mat kanon direkrut untuk ikut dengan
Sang Proklamator. Ia bertugas untuk menari di hadapan tamu-tamu negara ke luar negeri, ke
Malaysia, Singapura, dan lainnya. Selama lebih kurang satu tahun ia mengabdi kepada
Soekarno sebelum kemudian ia berhenti dan kembali ke kampung halaman dan mengajar. Ia
juga sempat mengajar di Jerman meski tidak lama. Kini siapapun boleh belajar menari
dengannya. Selain di rumahnya, Mat Kanon juga diminta untuk mengajar di sebuah sanggar
Lemtid (Lembah Tidar) di desa Podosoko, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Pertahankan Tari Jawa Klasik di Sanggar milik seorang pencinta seni budaya, Tri Yudho
Purwoko (Pur), ini Mat Kanon melatih anak-anak sampai dewasa menari Jawa Klasik dan
Wayang Orang. Ia bertahan dengan tarian tersebut semata agar pakem tari Jawa Klasik tidak
berubah.
“Saya bersyukur ada Pak Pur yang peduli dengan seni dan budaya. Selama ini saya
jarang dibayar, tapi di sini saya mendapat upah tiap bulan,” ungkap Mat Kanon, yang
sehari-hari juga bertani itu.
Upah tersebut ia kumpulkan untuk membangun pendopo di depan rumahnya. Di pendopo
itu lah melatih menari anak-anak di sekitarnya. Ia juga mendapat bantuan dari sukarelawan
yang peduli dengan kelestarian Tari Jawa Klasik. Sementara itu, Tri Yudho Purwoko
mengapresiasi Mat Kanon yang masih bersedia menggeluti tari jawa tradisional meski usia
tidak muda lagi. Ia menyediakan ruangan di rumahnya supaya Mat Kanon dan anak-anak di
sekitarnya bisa berlatih menari. “Siapa pun boleh berlatih menari di sini, gratis, saya sediakan
ruangan di rumah saya,” jelas Pur. Tidak hanya ruangan tari, Pur juga menyediakan studio
musik yang lengkap dengan alat musiknya., hingga galeri seni rupa. Senada dengan Mat
Kanon, Pur juga ingin generasi muda sekarang mencintai seni dan budaya negeri sendiri.
Sumber: Bahasa Indonesia, Tim Masmedia Buana Pustaka.
1. Tulislah masing-masing 2 kalimat yang menunjukkan struktur teks:
a. Orientasi
b. Komplikasi
c. Resolusi
d. Koda
2. Tulislah 3 kalimat yang mengandung unsur kebahasaan menggunakan kata yang
menggambarkan keadaan atau sifat yang dimiliki tokoh.
3, Tulislah 3 kalimat yang menunjukkan ungkapan kepedulian!
4. Tulislah 5 kalimat yang menggunakan kata ganti!
oleh Rahmat Basroil alias Mat Kanon. Pesan ini disampaikan langsung oleh Presiden pertama
RI, Soekarno, kepadanya pada tahun 1964 silam. Ungkapan bahasa Jawa itu kurang lebih
bermakna “Tingginya derajat bangsa terletak pada budayanya.” Ketika itu, Mat Kanon, masih
menjadi penari kepercayaan Bung Karno. Ia selalu ikut lawatan Bung Karno ke luar negeri
untuk membawa misi kebudayaan. Ia dan kawan-kawannya menari Jawa klasik hingga
wayang orang. Mat kanon kini berusia hampir 70 tahun. Namun, jiwa dan raganya masih
bugar melakukan aktivitas seni olah tubuh tersebut. Seolah tak peduli dengan hingar bingar
modernisasi dunia, terutama dunia seni dan budaya.
Nama Mat Kanon tersemat pada dirinya karena bekas luka di kakinya akibat granat
(canon) penjajah ketika ia masih kecil. Luka itu tak membuat Mat Kanon surut mencintai seni
tari. “Seperti pesan Bung karno, saya masih ingin melihat anak-anak sekarang tidak lupa
dengan budayanya sendiri. Negara ini akan dihormati dunia kalau rakyatnya masih
menjunjung tinggi budayanya,” ungkap Mat Kanon.
Di usia senjanya, Mat Kanon masih aktif melatih anak-anak muda sekitar tempat
tinggalnya di Dusun Bulu, Desa Podosoko, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang,
untuk menari Jawa klasik dan wayang orang. Kakek 13 cucu ini mengaku kerap rela tak
mendapat upah demi tetap bisa menularkan ilmunya. Kecintaannya pada dunia tari dimulai
sejak usia Sekolah Rakyat (SR)—sekarang Sekolah Dasar (SD). Saat itu ia sering melihat
pertunjukan wayang orang di kampung-kampung. Ia mulai belajar sendiri sampai
menemukan guru tari. “Saya belajar alami saja, terus bertemu dengan guru, ikut menari dari
kampung ke kampung. Sejak SMP dan SMA saya sudah mengajar tari anak-anak.
Keinginan Mat kanon itu ditentang keras oleh sang kakek. Kakeknya yang religius
menginginkan Mat Kanon belajar agama di pesantren dan majelis-majelis pengajian. Mat
Kanon remaja menolak keinginan kakeknya itu. Ia tetap bersikukuh menekuni tari meski tak
direstui orang tuanya dan memilih meninggalkan rumah. “Saya minggat (kabur) dari rumah.
Pergi ke Gunung Kidul, hidup seadanya di gunung. Sampai pada suatu hari ikut lomba di
Semarang dan menang juara 1. Setelah menang itu saya ketemu guru tari lagi dan diajari.
Mat Kanon melanjutkan, setelah dari Semarang, dirinya pergi ke Purwokerto bersama
guru barunya. Hingga suatu ketika ia dipercaya pentas menari di hadapan Presiden Soekarno
pada acara kenegaraan di Purwokerto. Dari situlah, Mat kanon direkrut untuk ikut dengan
Sang Proklamator. Ia bertugas untuk menari di hadapan tamu-tamu negara ke luar negeri, ke
Malaysia, Singapura, dan lainnya. Selama lebih kurang satu tahun ia mengabdi kepada
Soekarno sebelum kemudian ia berhenti dan kembali ke kampung halaman dan mengajar. Ia
juga sempat mengajar di Jerman meski tidak lama. Kini siapapun boleh belajar menari
dengannya. Selain di rumahnya, Mat Kanon juga diminta untuk mengajar di sebuah sanggar
Lemtid (Lembah Tidar) di desa Podosoko, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Pertahankan Tari Jawa Klasik di Sanggar milik seorang pencinta seni budaya, Tri Yudho
Purwoko (Pur), ini Mat Kanon melatih anak-anak sampai dewasa menari Jawa Klasik dan
Wayang Orang. Ia bertahan dengan tarian tersebut semata agar pakem tari Jawa Klasik tidak
berubah.
“Saya bersyukur ada Pak Pur yang peduli dengan seni dan budaya. Selama ini saya
jarang dibayar, tapi di sini saya mendapat upah tiap bulan,” ungkap Mat Kanon, yang
sehari-hari juga bertani itu.
Upah tersebut ia kumpulkan untuk membangun pendopo di depan rumahnya. Di pendopo
itu lah melatih menari anak-anak di sekitarnya. Ia juga mendapat bantuan dari sukarelawan
yang peduli dengan kelestarian Tari Jawa Klasik. Sementara itu, Tri Yudho Purwoko
mengapresiasi Mat Kanon yang masih bersedia menggeluti tari jawa tradisional meski usia
tidak muda lagi. Ia menyediakan ruangan di rumahnya supaya Mat Kanon dan anak-anak di
sekitarnya bisa berlatih menari. “Siapa pun boleh berlatih menari di sini, gratis, saya sediakan
ruangan di rumah saya,” jelas Pur. Tidak hanya ruangan tari, Pur juga menyediakan studio
musik yang lengkap dengan alat musiknya., hingga galeri seni rupa. Senada dengan Mat
Kanon, Pur juga ingin generasi muda sekarang mencintai seni dan budaya negeri sendiri.
Sumber: Bahasa Indonesia, Tim Masmedia Buana Pustaka.
1. Tulislah masing-masing 2 kalimat yang menunjukkan struktur teks:
a. Orientasi
b. Komplikasi
c. Resolusi
d. Koda
2. Tulislah 3 kalimat yang mengandung unsur kebahasaan menggunakan kata yang
menggambarkan keadaan atau sifat yang dimiliki tokoh.
3, Tulislah 3 kalimat yang menunjukkan ungkapan kepedulian!
4. Tulislah 5 kalimat yang menggunakan kata ganti!
Jawaban dan Penjelasan
Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.
Jawaban:
“Kuncaraning Bangsa Dumunung Haneng Luhuring Budaya” pesan yang selalu diingat:
Sebagai generasi penerus dan orang yng terpelajar, kita berkewajiban untuk menjaga amanah serta membangun bangsa dengan hal-hal yang baik
Penjelasan:
Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh TOYAGUES dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.
Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact
Last Update: Thu, 16 Jun 22