Hoaaahhhh!” aku menguapkan dan mengucek-ngucek mata. “Adit! Mengapa? Ngantuk ya?” suara Bu Nana dari ponselku lantang mengagetkanku. Aku langsung duduk tegak. “I..iya, Bu. Eh, maksud saya, tidak, Bu!” kataku tergagap. Beberapa siswa yang belajar berani terdengar tertawa geli. Sudah hampir satu jam aku belajar dari rumah secara berani. Sejujurnya, aku bosan dan mengatuk. Namun sekarang, saya dapat merasakan pipiku panas dan memerah. Aku sungguh malu. Bu Nana geleng-geleng. “ Coba jelaskan kamu jelaskan, tadi Ibu sedang apa?” Aku menunduk. “Saya tidak tahu, Bu,” jawab pelanku. Bu Nana menghela nafas panjang. “Anak-anak semua.” “Iyaa, Bu,” serempak aku dan siswa-siswa lain menjawab. “Dengarkan Bu. Kondisi sekarang memang kita sedang prihatin. Karena pandemi covid-19 ini, kita harus bisa menyesuaikan diri. Salah satunya adalah belajar berani ini. Kita memang tidak bisa bertatap muka langsung, tapi kita tetap harus belajar. Karena tugas kita adalah belajar. Itu sudah menjadi kewajiban kita. Kalian harus mengerti bahwa…” “Ibuuuuu, tidak mendengar. Sinyanya mati-mati!” tiba-tiba, Sita menceletuk. “Ibu ulangi, kita harus paham bahwa belajar adalah kewajiban kita, : sambung Bu Nana dengan sabra. “Ibu, izin sebentar, boleh, Bu? Saya mau pipis,” kali ini, Rini menceletuk. Ibu Nana lagi-lagi menghela napas panjang. “Iya, silakan kalau mau ke belakang, Rini. Lain kali izinnya yang betul ya. Bilang izin ke belakang.” “Tapi kamar mandi saya di depan, Bu,” protes Rini. “Iya, iya sudah sana,” sahut Nana akhirnya. Rini pun hilang dari layar. “Ibu, tolong ulangi lagi yang tadi. Sinyalnya baru ada, Bu,” rengek Rini. “Ibu, HP saya rusak. Ini saya pinjam punya Ayah,” Fauzan ikut laporan. Suasana belajar dari rumah ini sangat ramai. Aku tiba-tiba tidakmengantuk lagiA. apa sudut pandang cerpen tersebut
B. siapa tokoh utama dalam cerpen di atas​