Jawaban:

Tak ubahnya diriku ini bagai aku yang kemarin, dan aku yang kemarin adalah aku yang lusa. 

Bahkan jika bisa bersuara, pepohonan pun akan tertawa geli melihat ku mengulang catatan hari ini untuk esok. 

Atau mereka sebenarnya tertawa, namun tak bersuara.

Agar merubah sedikit rutunitasku, aku sempat menyukai ice cream di pagi hari. 

Setidaknya Sang kuasa dapat melihat ku berbeda dari atas sana. 

Namun belum sampai berlembar-lembar catatan harianku yang baru. 

Perut ku malah menolak, dan aku kembali sama. 

Melakukan hal yang itu - itu saja. 

Hal dimana aku yang sebenarnya hanya lah bagian terkecil dari diriku sendiri, dan selebihnya, aku tak tahu hilang kemana. 

Atau pergi jauh dimakan masa lalu, tepatnya sebelum 3 tahun semu ini bermulai.

Entah.  Apakah itu air mata yang terbuang sia-sia

cinta pertama yang tak terkatakan ataukah kesempatan emas yang pernah ku lewati. 

Sebab hampir sepenuhnya perasaanku ini merindukan sesuatu yang tak jelas bentuknya. 

Menuliskan puisi ini pun bukan karena aku menyasali keadaan yang sekarang. 

Aku hanya khawatir tentang diriku di semester ini. Tentang aku yang didobrak paksa oleh sang surya. 

Menjalani hari pada garis lingkaran yang titik awal dan akhirnya adalah sama. Dimana isinya hanyalah aku dan kejenuhan yang sama juga.

Ya. Kejenuhan saat aku sibuk mencari angin pada celah jendela yang masih bisa digeser. 

Tak mengapa bila harus berdiri berdesak-desakan. 

Setidaknya aku tak akan mandi dua kali. Sebab, terlalu pagi untuk tubuhku dibanjiri keringat dalam bus usang langganan ku ini. Sementara masih ada antrian lift yang harus ku hadapi.

Dalam hatiku sering terlintas jerit kelelahan yang berkata,

"Lihat lah aku !! ini kah aku yang sekarang ?"

"Aku yang selalu punya arah tujuan dalam perjalanan, tapi telah lama kehilangan harapan".

Penjelasan: