Tentukan orientasi cerita pendek di bawah ini! Jika mengenang kembali masa

Berikut ini adalah pertanyaan dari doezxel5609 pada mata pelajaran B. Indonesia untuk jenjang Sekolah Menengah Atas

Tentukan orientasi cerita pendek di bawah ini!Jika mengenang kembali masa laluku, aku termasuk anak yang diberikan hidayah oleh-Nya. Aku berada dalam sukacita dan terkadang meneteskan air mata sendiri saat merasa terharu. Ya, dulu waktu masih duduk di bangku SD, terkadang aku ingin menjerit melengkingkan suaraku sebagai tanda kekesalanku. Bagaimana tidak. Aku termasuk anak yang dilahirkan dari keluarga yang cukup memadai untuk ukuran biaya sekolah, namun itu tak dapat aku nikmati. Dan yang lebih menyakitkan hatiku, beberapa temanku hidup dengan kondisi ekonomi pas-pasan, tapi orangtua mereka sangat mengerti tentang pentingnya pendidikan.

“Terlanjur kita yang merasakan betapa sulitnya hidup ini karena dahulu kita tidak bersekolah, jangan sampai anak-anak kita kelak mengalami hal yang sama.” Demikian pernyataan yang sering kudengar dalam pertemuan guru dan orangtua siswa di sekolah. Kalimat itu selalu dilontarkan Pak Rahmat, kepala sekolahku di SD, untuk mengubah pola pikir masyarakat di desaku. Tapi itulah kenyataannya, sebagian orangtua siswa hanya mendengar saja, sesudah itu pulang ke rumah dan sibuk dengan urusan sawah, kebun, sapi, dan berbagai mata pencaharian lainnya. Tidak ada respon. Salah seorang di antara mereka adalah ayahku. Baginya, ungkapan itu bagai angin yang berlalu saja.

Jujur kuakui, tak pantas aku menceritakan semua ini. Tapi aku ceritakan juga sebagai luapan rasa gembiraku karena aku mampu keluar dari kemelut saat itu. Kini aku sudah duduk di bangku kelas 8 di salah satu sekolah favorit di kotaku. Sebuah impian yang selalu terhalang karena adat dan tradisi desaku. Boleh jadi, apa yang kualami ini juga dialami oleh anak-anak seusiaku di tempat lain.

O iya. Namaku Isrul. Aku lahir dan tinggal di pelosok desa. Berhubung desaku terpencil dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan, maka tradisi dan adat-istiadatnya masih sangat kental. Tapi yang namanya pendidikan, hampir semua orang tua di desakau tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah, termasuk ayah dan ibuku.

“Dulu tidak ada sekolah di desa ini.” Itulah jawaban ayahku ketika aku menanyakan perihal sekolah.

Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban itu. Dalam benakku, terlintas pikiran bahwa di kota kecamatan pasti ada sekolah. Tapi kalau pernyataan itu kuajukan, maka sudah pasti mata ayahku melotot sambil berkata, “Matempo to anana’, ye. Sudah, jangan banyak bicara, tahu apa kau tempo dulu.” Ungkapan ini memang sudah tersimpan di otak hampir seluruh orangtua di desaku. Jika mendengar kata matempo, anak-anak terpaksa bungkam. Sudah menjadi tradisi di desaku, bahwa semua perkataan orangtua sifatnya mutlak. Menentang orangtua adalah tabu. Anak yang menentang orangtua bahkan dianggap kurang ajar. Jika ayahku sudah menetapkan keputusannya, maka ibu menurut pula. Merah kata ayahku, merah pula kata ibuku. Lagi-lagi dalam tradisi desaku, isteri wajib menuruti kata dan kemauan suami. Isteri adalah makmun yang wajib mengamini imam selesai melantunkan Surah Al-Fatihah.

Meski sekarang kondisi desaku sudah mulai berkembang, namun pola pikir ayahku masih belum berubah. Urusan pendidikan belum diutamakan. Inilah yang mengganjal pikiranku saat aku menyampaikan niatku untuk melanjutkan pendidikan di kota.

“Sudahlah, Nak. Turuti saja kata ayahmu,” demikian kata ibu. “Bu, saya mau sekolah di kota,” kataku mengiba.

“Untuk apa kau sekolah di kota? Di desa sebelah kan sudah ada SMP.”

Sudah kuduga bahwa ibuku pasti berpihak kepada ayahku. Apalagi ibuku tahu bahwa di desa sebelah sudah ada SMP Satap. Sekolah ini menggunakan gedung SD sebagai tempat belajar.

“SMP di sini tidak sama dengan SMP di kota, Bu.”

“Ah kau itu, ada-ada saja jawabanmu, di kota namanya SMP, di sini juga namanya SMP. Apanya yang tidak sama?”

“Namanya memang sama, Bu. Tapi cara belajarnya tidak sama.” “Memangnya di kota belajar apa?”

“Anu, Bu.”

“Ah, sudah. Itu sapi belum minum, lebih baik kau ambil ember lalu ambil air dari sumur. Sebentar lagi ayahmu pulang. Ia akan marah jika tahu sapi itu belum kau berikan air,” itulah jawaban pamungkas ibu.

Meskipun aku kesal dengan sikap ibu, itu kulakukan juga. Pernah suatu ketika aku meluapkan kekesalan dengan menyumpahi sapi-sapi itu. Waktu itu, sempat kulirik raut muka ibuku tampak kecewa dengan sikapku.

Namun ibu masih memberikan jawaban halus. “Kalau sapi itu kaupelihara dengan baik lalu dijual, uangnya untuk kau juga,” kata ibu.

Kalau jawaban seperti itu sudah keluar dari mulut ibu, maka sudah pasti tidak ada toleransi lagi. Kecuali kalau aku mau dikatakan anak matempo.

Itulah sepenggal kisahku yang nyaris menggagalkan aku melanjutkan sekolah di kota.

***

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:

Jika mengenang kembali masa laluku, aku termasuk anak yang diberikan hidayah oleh-Nya. Aku berada dalam sukacita dan terkadang meneteskan air mata sendiri saat merasa terharu. Ya, dulu waktu masih duduk di bangku SD, terkadang aku ingin menjerit melengkingkan suaraku sebagai tanda kekesalanku. Bagaimana tidak. Aku termasuk anak yang dilahirkan dari keluarga yang cukup memadai untuk ukuran biaya sekolah, namun itu tak dapat aku nikmati. Dan yang lebih menyakitkan hatiku, beberapa temanku hidup dengan kondisi ekonomi pas-pasan, tapi orangtua mereka sangat mengerti tentang pentingnya pendidikan.

Penjelasan:

kalau orientasi bagian awal cerita jadi kalau ada cerpen ambil aja di bagian paragraf pertama

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh masherlidarr dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Wed, 11 Jan 23