Berikut ini adalah pertanyaan dari kalwanivikram pada mata pelajaran B. Indonesia untuk jenjang Sekolah Menengah Atas
Watak matahari dan hujan adalah(ceritanya di bawah ya)
MATAHARI DAN HUJAN
Oleh: Husfani A. Putri
Namaku Matahari. Aku senang sekali menyinari Bumi agar tidak gelap dan dingin. Seperti hari ini, aku sedang duduk di singgasanaku, tubuhku bersinar cerah sekali. Kulihat beberapa orang di bawah sana berjalan dengan bergegas, beberapa memakai topi, payung, dan kacamata hitam untuk melindungi dirinya dari sinarku yang terik.
“Cerah sekali ya hari ini,” suara seseorang di bawah sana terdengar sayup. Aku yang sedang mengantuk akhirnya menegakkan diriku lagi. Mengambil kaca pembesar dan trompet pendengaran agar aku dapat mendengar dan melihat ke bawah sana.
“Iya, mataharinya lagi semangat bersinar,” temannya menimpali.
Dari pakaian yang dikenakan, aku tahu kalau mereka baru saja pulang sekolah. Baju putih, rok merah, tak lupa dengan topi pet berwarna putih dan merah. Mereka berjalan beriringan. Sesekali terdengar suara tawa dari mereka berdua.
“Mumpung lagi cerah, kita main sepeda, yuk!” kata orang pertama yang berbicara, mengusulkan idenya. Rambutnya dikepang terlihat dari bawah topinya.
“Oke, nanti kita bertemu di lapangan dekat sawah saja, ya,” ujar temannya yang melambaikan tangannya untuk masuk ke rumah.
Aku tersenyum mendengar percakapan mereka. Senang rasanya kalau mereka tidak terlalu terganggu dengan panas matahari. Malah mereka akan bermain sepeda.
Singgasanaku berputar, tak jauh dari rumah kedua anak itu, di sebuah sawah para petani sedang berkumpul. Aku mengarahkan kaca pembesar dan terompet pendengaran di atas mereka.
“Sudah lama tidak hujan,” kata petani yang menggunakan baju berwarna merah mengatakan dengan nada sedih. “Sawah kita kekeringan, sumber air pun semakin sedikit.”
“Kita ambil air dari sumur terdekat saja. Kebetulan sumur itu sekarang sudah jarang dipakai,” kata petani berbaju kuning mengusulkan.
Petani merah, sepertinya adalah pimpinan kelompok, terlihat sedang berpikir. Seluruh petani sedang menatap penuh harap agar segera ditemukan solusi untuk membuat sawah mereka kembali dialiri air.
Aku tertegun, memang sudah lama hujan tidak turun. Sebelumnya, aku mengira bahwa mereka senang dengan kehadiran sinarku yang membuat semua tumbuh. Namun, ternyata semua butuh keseimbangan. Seperti sawah, selain butuh sinar matahari, dia juga membutuhkan air hujan. Segera aku memutar tubuh dan mencari awan hujan. Tak lama, aku menemukannya. Badannya yang berwarna putih sekarang mulai berwarna abu-abu. Aku bersorak gembira, artinya awan tersebut akan menurunkan hujannya.
“Hai, Awan Hujan. Di mana kamu akan menurunkan hujanmu?” tanyaku sambil mendekatinya.
“Tahan, Matahari!” Awan Hujan malah semakin menjauhiku. Aku berhenti mendekatinya, sedikit heran dengan sikapnya yang tidak mau dekat denganku.
“Maaf aku harus menjauhimu, Matahari,” Awan Hujan meminta maaf. “Masalahnya, kalau aku terlalu dekat denganmu, maka air yang sudah aku tampung di tubuhku akan menguap dan hujan tidak akan turun.”
Mendengar penjelasannya, aku kemudian mengangguk. Benar juga, kasihan para petani itu kalau hujan tidak jadi turun membasahi sawahnya. “Aku mengerti, Awan. Jadi, apa yang harus aku lakukan?”
“Untuk sementara, tolong kamu berlindung dulu di balik awan yang lain, agar sinarmu tidak membuat air di tubuhku menguap.”
Aku kembali mengangguk. Saat akan beranjak pergi dan Awan Hujan siap menurunkan hujannya, aku teringat dengan pembicaraan dua anak sekolah yang akan bermain sepeda itu. “Tunggu, Awan Hujan! Aku baru teringat bahwa ada dua anak yang ingin bermain sepeda di lapangan dekat sawah karena cuaca sedang cerah. Boleh tidak aku memintamu hanya membasahi sawah yang kekeringan itu saja?”
Awan Hujan terlihat sedang berpikir, sambil melihat ke arah lapangan dan sawah yang hanya dibatasi oleh sungai kecil. Kedua anak itu sudah berada di sana. Bermain sepeda sambil tertawa riang.
“Aku tidak bisa menghentikan hujanku di sana, tapi aku bisa membuatnya menjadi gerimis kecil agar tidak terlalu mengganggu permainannya. Anak-anak suka bermain hujan-hujanan, kan?” katanya sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian, hujan mulai turun. Aku bersembunyi di balik awan, mengintip kedua anak tersebut yang sedang bermain sepeda. Benar saja, saat hujan pertama kali jatuh, mereka malah semakin bersorak. Mereka menyimpan sepedanya di pinggir, kemudian berlari-lari menyambut hujan.
Di sawah, para petani yang sedang merencanakan untuk mengambil air dari sumur, segera bersujud setelah tahu ada hujan yang turun. Wajah mereka terlihat gembira.
Aku mendengar nama agung Tuhan disebutkan tak henti-henti oleh mereka. Sama seperti kedua anak di lapangan, mereka berlari-lari dengan gembira. Kembali lagi menjadi seperti anak kecil yang senang saat hujan turun.
Amanat atau Pesan dar cerita tersebut apa? jwb yang benar yaa, aku bikin yang cerdas
MATAHARI DAN HUJAN
Oleh: Husfani A. Putri
Namaku Matahari. Aku senang sekali menyinari Bumi agar tidak gelap dan dingin. Seperti hari ini, aku sedang duduk di singgasanaku, tubuhku bersinar cerah sekali. Kulihat beberapa orang di bawah sana berjalan dengan bergegas, beberapa memakai topi, payung, dan kacamata hitam untuk melindungi dirinya dari sinarku yang terik.
“Cerah sekali ya hari ini,” suara seseorang di bawah sana terdengar sayup. Aku yang sedang mengantuk akhirnya menegakkan diriku lagi. Mengambil kaca pembesar dan trompet pendengaran agar aku dapat mendengar dan melihat ke bawah sana.
“Iya, mataharinya lagi semangat bersinar,” temannya menimpali.
Dari pakaian yang dikenakan, aku tahu kalau mereka baru saja pulang sekolah. Baju putih, rok merah, tak lupa dengan topi pet berwarna putih dan merah. Mereka berjalan beriringan. Sesekali terdengar suara tawa dari mereka berdua.
“Mumpung lagi cerah, kita main sepeda, yuk!” kata orang pertama yang berbicara, mengusulkan idenya. Rambutnya dikepang terlihat dari bawah topinya.
“Oke, nanti kita bertemu di lapangan dekat sawah saja, ya,” ujar temannya yang melambaikan tangannya untuk masuk ke rumah.
Aku tersenyum mendengar percakapan mereka. Senang rasanya kalau mereka tidak terlalu terganggu dengan panas matahari. Malah mereka akan bermain sepeda.
Singgasanaku berputar, tak jauh dari rumah kedua anak itu, di sebuah sawah para petani sedang berkumpul. Aku mengarahkan kaca pembesar dan terompet pendengaran di atas mereka.
“Sudah lama tidak hujan,” kata petani yang menggunakan baju berwarna merah mengatakan dengan nada sedih. “Sawah kita kekeringan, sumber air pun semakin sedikit.”
“Kita ambil air dari sumur terdekat saja. Kebetulan sumur itu sekarang sudah jarang dipakai,” kata petani berbaju kuning mengusulkan.
Petani merah, sepertinya adalah pimpinan kelompok, terlihat sedang berpikir. Seluruh petani sedang menatap penuh harap agar segera ditemukan solusi untuk membuat sawah mereka kembali dialiri air.
Aku tertegun, memang sudah lama hujan tidak turun. Sebelumnya, aku mengira bahwa mereka senang dengan kehadiran sinarku yang membuat semua tumbuh. Namun, ternyata semua butuh keseimbangan. Seperti sawah, selain butuh sinar matahari, dia juga membutuhkan air hujan. Segera aku memutar tubuh dan mencari awan hujan. Tak lama, aku menemukannya. Badannya yang berwarna putih sekarang mulai berwarna abu-abu. Aku bersorak gembira, artinya awan tersebut akan menurunkan hujannya.
“Hai, Awan Hujan. Di mana kamu akan menurunkan hujanmu?” tanyaku sambil mendekatinya.
“Tahan, Matahari!” Awan Hujan malah semakin menjauhiku. Aku berhenti mendekatinya, sedikit heran dengan sikapnya yang tidak mau dekat denganku.
“Maaf aku harus menjauhimu, Matahari,” Awan Hujan meminta maaf. “Masalahnya, kalau aku terlalu dekat denganmu, maka air yang sudah aku tampung di tubuhku akan menguap dan hujan tidak akan turun.”
Mendengar penjelasannya, aku kemudian mengangguk. Benar juga, kasihan para petani itu kalau hujan tidak jadi turun membasahi sawahnya. “Aku mengerti, Awan. Jadi, apa yang harus aku lakukan?”
“Untuk sementara, tolong kamu berlindung dulu di balik awan yang lain, agar sinarmu tidak membuat air di tubuhku menguap.”
Aku kembali mengangguk. Saat akan beranjak pergi dan Awan Hujan siap menurunkan hujannya, aku teringat dengan pembicaraan dua anak sekolah yang akan bermain sepeda itu. “Tunggu, Awan Hujan! Aku baru teringat bahwa ada dua anak yang ingin bermain sepeda di lapangan dekat sawah karena cuaca sedang cerah. Boleh tidak aku memintamu hanya membasahi sawah yang kekeringan itu saja?”
Awan Hujan terlihat sedang berpikir, sambil melihat ke arah lapangan dan sawah yang hanya dibatasi oleh sungai kecil. Kedua anak itu sudah berada di sana. Bermain sepeda sambil tertawa riang.
“Aku tidak bisa menghentikan hujanku di sana, tapi aku bisa membuatnya menjadi gerimis kecil agar tidak terlalu mengganggu permainannya. Anak-anak suka bermain hujan-hujanan, kan?” katanya sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian, hujan mulai turun. Aku bersembunyi di balik awan, mengintip kedua anak tersebut yang sedang bermain sepeda. Benar saja, saat hujan pertama kali jatuh, mereka malah semakin bersorak. Mereka menyimpan sepedanya di pinggir, kemudian berlari-lari menyambut hujan.
Di sawah, para petani yang sedang merencanakan untuk mengambil air dari sumur, segera bersujud setelah tahu ada hujan yang turun. Wajah mereka terlihat gembira.
Aku mendengar nama agung Tuhan disebutkan tak henti-henti oleh mereka. Sama seperti kedua anak di lapangan, mereka berlari-lari dengan gembira. Kembali lagi menjadi seperti anak kecil yang senang saat hujan turun.
Amanat atau Pesan dar cerita tersebut apa? jwb yang benar yaa, aku bikin yang cerdas
Jawaban dan Penjelasan
Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.
Penjelasan:
maaf ga tau kakak maaf bangetttttt
Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh yenysriutami dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.
Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact
Last Update: Tue, 12 Jul 22