TULISKAN 1 CERPEN TENTANG DESA PATIN

Berikut ini adalah pertanyaan dari ririspekanbaru18 pada mata pelajaran B. Indonesia untuk jenjang Sekolah Menengah Atas

TULISKAN 1 CERPEN TENTANG DESA PATIN

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:

Namaku Azzam Samudera, putra sulung dari tiga bersaudara. Aku lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, ataupun buruh serabutan. Kabar buruknya, aku menjadi salah satu diantara mereka. Di usiaku yang menginjak 22 tahun, awal bulan ini. Aku merasakan kegamangan yang telah lama tertimbun jauh di dasar lubuk hatiku, rasa sesak dan bosan yang aku sendiri pun tak mengerti, terus saja menyeruak tiada henti. Hidup serba pas-pasan dan hanya makan seadanya, membuatku lelah.

Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Azzam, seakan aku lahir tanpa memiliki kelebihan yang dapat disombongkan. 'Samudera' yang berarti lautan luas, dengan harapan aku bisa menjadi tumpuan bagi orang tua, justru tidak mampu aku emban. Bahkan aku merasa buruk sebagai seorang kakak. Semua berawal ketika bapak pergi ke ladang tujuh tahun lalu ... bapak yang memang sudah berusia lanjut, tanpa sengaja terjatuh ke parit sedalam tiga meter, kakinya terluka, dan patah. Karena keterbatasan biasa, kami hanya bisa membawanya ke tukang urut desa, hingga ia dinyatakan lumpuh sampai sekarang. Ibu yang juga sering sakit-sakitan tambah membuatku hidup nelangsa. Belum lagi, harus mengurusi adik-adik yang masih mengecap bangku sekolah, menjadikan bebanku semakin berat dan tak jarang aku terus mengeluh, contohnya seperti hari ini.

"Zam! Azzam, kamu sudah tidur nak!"

Kutenggelamkan kepalaku di balik bantal usang ini, saat suara parau ibu terdengar. Ibu pasti akan menyuruhku untuk mengambil pinjaman uang dari Pak Jaka, seorang rentenir yang biasa memberikan pinjaman namun dengan bunga yang tak sedikit. Aku lelah dengan semua ini, kebutuhan yang semakin banyak, serta ketidak siapanku menghadapi laju pertumbuhan, membuatku kalah dalam persaingan. Pada akhirnya, aku hanya dapat mengelus dada sabar, menghadapi kerasnya hidup di zaman orde reformasi ini.

"Kamu udah tidur ternyata." Dapat kurasakan tangan keriput itu mengusap kepalaku. Aku masih memilih memejamkan mata, menikmati sentuhan yang hampir tiap malam selalu diberikan ibu setiap kali anak-anaknya terlelap tidur. Aku menangis, cairan bening ini terus mendesak, memaksa keluar. Semakin lembutnya tangan itu mengelus rambut cepakku, semakin tersekat napas ini hingga sebuah kecupan lembut itu mendarat mulus di dahiku.

"Maaf!"

Satu kata yang terujar begitu lirih dari mulutnya, berhasil membuat air mataku berlomba keluar dari sarangnya. Batinku berdenyut sakit, entah apa yang akan terjadi jika aku membuka kelopak mataku saat ini. Berusaha keras aku menahan gejolak liar ini, kugigit bibir bawahku yang bergetar hebat, ingin rasanya aku berteriak, meraung sepuas hati.

Berangsur aku membuka mata, saat langkah kaki ibu kian melebar jauh dari kamarku. Bantal yang sebelumnya kujadikan tempat persembunyianku menangis dalam diam telah basah oleh cairan asin yang keluar dari mataku. Aku tersenyum getir, memilih berpura-pura tidur, meski tangisku tak jua berhenti.

Keesokan paginya, aku bangun pagi-pagi sekali seperti biasa. Peci sudah bertengger rapi di kepala, sarung lusuh yang hanya satu-satunya kupakai ditemani pakaian koko lengan panjang kukenakan. Mungkin itu adalah pakaian baru terakhir yang kusandang sejak lima tahun silam. Aku bergegas ke surau depan, biasa solat subuh di sana.

"Ya Allah, kenapa hamba begitu lemah hanya untuk bertahan dari ujian-Mu? Ampuni hamba yang terlampau sering mengadu pada-Mu. Hamba ingin menyerah, tapi perasaan takut ini terus menghantui ... tolong bantu hamba, tolong kuatkan hamba."

Tangisku kembali pecah di penghujung pagi ini, Dadaku serasa ditikam bertubi, menjalar dengan mudahnya tanpa hambatan berarti. Bibirku terus bergetar tidak sanggup lagi melanjutkan do'aku.

"Aku tak akan meminta Engkau untuk mencabut ujian-Mu, hamba tidak akan memohon agar engkau meringankannya, hanya satu ... Kuatkan hamba agar terus sabar menghadapinya. Ya Allah, kabulkan, kabulkanlah! Aamiin ...."

Kututup do'aku dalam hati dengan perasaan lega, hanya dengan begini, aku mampu menumpahkan sekelumit beban yang tengah kupikul di kedua pundakku. Allah yang mendengarku, melihatku, memperhatikanku, serta mengasihiku—hanya Dia tempatku bersandar—tempatku bercurah segala kegundahan hati, dikala aku merasa letih menjalani skenario kehidupan ini.

"Nak Azzam!" Kutolehkan kepalaku, ketika suara menyapa gendang telingaku. Sudut bibirku terangkat mengetahui sosok teladanku tengah tersenyum menghampiriku. Segera saja, aku berdiri, medekat pada seorang pria yang nampak berwibawa di usianya yang tak lagi muda.

semoga membantu

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh javaedition227 dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Sat, 04 Mar 23