Berikut ini adalah pertanyaan dari dandyarya285 pada mata pelajaran B. Indonesia untuk jenjang Sekolah Menengah Atas
Misteri Tahi Lalat MungilDi Ujung Dagu
Oleh Yuyus Robentien
Aku Tinggal di Kota Surabaya. Ayah dan ibu sangat menyayangiku, walaupun aku bukan anak
kandung mereka. Aku diambil dari panti asuhan ketika masih kecil dulu. Aku sangat bersyukur karena
memiliki Ayah dan Ibu yang sangat baik.
Meski demikian, ada tingkah mereka yang aneh. Aku memiliki tahi lalat kecil di ujung dagu. Sejak
aku kecil, ayah dan ibuku sangat memperhatikan dan menyayangi benda kecil ini. Kalau aku pakai bedak
pun, tidak boleh tebal-tebal di bagian dagu. Bila kutanya sebabnya, ibu menjelaskan, “Kalau bedaknya
tebal, nanti tahi lalatnya tidak kelihatan dan hilang cantiknya.”
Rasanya penjelasan ibuku itu tak masuk akal. Aku jadi penasaran. Suatu ketika, ibu marah padaku.
Gara-gara aku jatuh tersungkur dan daguku terluka. Luka itu tepat di sebelah tahi lalatku.
“Untung lukanya tidak mengenai tahi lalatmu!” seru Ibu gemas.
“Kalau kena tahi lalat, memangnya kenapa, Bu?” tanyaku.
“Lo, kalau lukanya dalam..., tahi lalatmu bisa tidak tumbuh lagi. Nanti kamu tidak kelihatan cantik
lagi,” Ibu menjelaskan panjang lebar. Aku mengangguk saja, meski hati kecilku berontak. Apa
hubungannya, tahi lalat dengan kecantikan seseorang. Ah, pasti orang tuaku menyimpan rahasia.
Dua tahun lalu, rasa penasaranku semakin bertambah. Waktu itu aku berlibur kerumah Nenek di
Bogor. Ada peristiwa-peristiwa aneh saat liburan panjang di Bogor itu. Saat aku sedang belanja di pasar,
tiba-tiba ada ibu muda yang tak kukenal menyapaku.
“Eh, Mbak Puji, tumben sendirian saja?”
Aku bengong.
Melihat aku bengong, orang itu bertanya lagi, “Kamu, Mbak Puji, kan?”
Aku mengangguk. “Mbak Puji anaknya Pak Irvan?”
Aku semakin bingung. Sebab nama ayahku bukan Pak Irvan, tapi Pak Hendra.
“Oh, maaf, Mbak! Saya keliru!” ujar ibu itu lagi sambil mengamati tahi lalat di daguku. “Tapi, kamu
mirip sekali dengan Mbak Puji-nya Pak Irvan”. Sambungnya seraya melangkah pergi.
Sepulang dari pasar kuceritakan hal tadi pada Nenek. Tapi Nenek pura-pura tidak mendengar. Dan
mengalihkan pembicaraan kami pada hal yang lain. Aku bingung. Mengapa ada anak yang nama dan
wajahnya mirip denganku?
Sejak saat itu, Nenek dan orang tuaku melarangku berlibur ke Bogor. Padahal aku mulai tahu.
Tetangga kaya di sebelah rumah Nenek juga bernama Pak Irvan. Ia juga punya anak tunggal yang dimanja
dan jarang keluar rumah. Aku sulit sekali bertemu dengan anak Pak Irvan itu. Padahal aku ingin tahu.
Apakah Pak Irvan itu yang nama dan wajah anak perempuannya sama denganku?Sudah dua tahun aku tak ke Bogor. Aku sudah rindu sekali pada Nenek. Dengan berbagi cara aku
minta izin pada orang tuaku untuk berlibur ke rumah nenek. Akhirnya permintaanku dikabulkan.
Syaratnya, selama di rumah Nenek, aku tidak boleh keluar rumah. Kalau main, cukup di halaman.
Kini, sudah tiga hari aku di rumah Nenek. Karena kesal tidak boleh keluar rumah, akhirnya aku
jatuh sakit. Di kamar depan aku terbaring. Dari jendela tampak halaman rumah Pak Irvan yang luas. Tiba-
tiba aku tersentak. Ada gadis seusiaku keluar dari rumah sambil dipapah masuk mobil. Sepertinya ia
sedang sakit. Sepintas aku melihat gadis itu sangat mirip denganku. Apakah ia yang namanya...?Ah! Tiba-
tiba semuanya gelap!ternyata pingsan.
Ketika sadar, aku sudah berbaring di rumah sakit. Kulihat ada Nenek dan seorang pria gagah,
sebaya Ayah, sedang menjagaku.
Pria itu tersenyum padaku. “Jadi ini yang namanya Puji Ambarwati, Nek?”
Aku terkejut, pria itu menyebut namaku. Nenek menjenguk sambil menjawab, “Betul, ini Puji
Ambarwati”
“Wah, perasaan saudara kembar itu mungkin sama ya? Buktinya, yang satu sakit, eh...yang
satunya lagi juga sakit!” ujar pria itu lagi.
Keningku berkerut, bingung.
“Nak, gadis yang tidur di ranjang sebelah itu...namanya Puji Ambarsari, saudara kembarmu!” ujar
pria itu lagi ramah.
Aku terkejut. Spontan kutengok penghuni ranjang sebelahku. Di sana ada gadis sebayaku yang
mirip denganku Seperti melihat cermin, ada bayanganku disana. Aku dan gadis itu saling tersenyum.
“Makanya, mengapa ayah dan ibumu selalu khwatir dengan tahi lalatmu itu hilang, kami jadi sulit
membedakan mana Puji Ambarwati dan mana Puji Ambarsari, “ ujar Nenek.
Ternyata aku punya saudara kembar. Dan Pak Irvan adalah ayah angkat saudara kembarku itu. Ah,
hatiku kini plong rasanya! Kami tertawa bersama-sama
Carilah unsur intrinsik cerpen diatas
Oleh Yuyus Robentien
Aku Tinggal di Kota Surabaya. Ayah dan ibu sangat menyayangiku, walaupun aku bukan anak
kandung mereka. Aku diambil dari panti asuhan ketika masih kecil dulu. Aku sangat bersyukur karena
memiliki Ayah dan Ibu yang sangat baik.
Meski demikian, ada tingkah mereka yang aneh. Aku memiliki tahi lalat kecil di ujung dagu. Sejak
aku kecil, ayah dan ibuku sangat memperhatikan dan menyayangi benda kecil ini. Kalau aku pakai bedak
pun, tidak boleh tebal-tebal di bagian dagu. Bila kutanya sebabnya, ibu menjelaskan, “Kalau bedaknya
tebal, nanti tahi lalatnya tidak kelihatan dan hilang cantiknya.”
Rasanya penjelasan ibuku itu tak masuk akal. Aku jadi penasaran. Suatu ketika, ibu marah padaku.
Gara-gara aku jatuh tersungkur dan daguku terluka. Luka itu tepat di sebelah tahi lalatku.
“Untung lukanya tidak mengenai tahi lalatmu!” seru Ibu gemas.
“Kalau kena tahi lalat, memangnya kenapa, Bu?” tanyaku.
“Lo, kalau lukanya dalam..., tahi lalatmu bisa tidak tumbuh lagi. Nanti kamu tidak kelihatan cantik
lagi,” Ibu menjelaskan panjang lebar. Aku mengangguk saja, meski hati kecilku berontak. Apa
hubungannya, tahi lalat dengan kecantikan seseorang. Ah, pasti orang tuaku menyimpan rahasia.
Dua tahun lalu, rasa penasaranku semakin bertambah. Waktu itu aku berlibur kerumah Nenek di
Bogor. Ada peristiwa-peristiwa aneh saat liburan panjang di Bogor itu. Saat aku sedang belanja di pasar,
tiba-tiba ada ibu muda yang tak kukenal menyapaku.
“Eh, Mbak Puji, tumben sendirian saja?”
Aku bengong.
Melihat aku bengong, orang itu bertanya lagi, “Kamu, Mbak Puji, kan?”
Aku mengangguk. “Mbak Puji anaknya Pak Irvan?”
Aku semakin bingung. Sebab nama ayahku bukan Pak Irvan, tapi Pak Hendra.
“Oh, maaf, Mbak! Saya keliru!” ujar ibu itu lagi sambil mengamati tahi lalat di daguku. “Tapi, kamu
mirip sekali dengan Mbak Puji-nya Pak Irvan”. Sambungnya seraya melangkah pergi.
Sepulang dari pasar kuceritakan hal tadi pada Nenek. Tapi Nenek pura-pura tidak mendengar. Dan
mengalihkan pembicaraan kami pada hal yang lain. Aku bingung. Mengapa ada anak yang nama dan
wajahnya mirip denganku?
Sejak saat itu, Nenek dan orang tuaku melarangku berlibur ke Bogor. Padahal aku mulai tahu.
Tetangga kaya di sebelah rumah Nenek juga bernama Pak Irvan. Ia juga punya anak tunggal yang dimanja
dan jarang keluar rumah. Aku sulit sekali bertemu dengan anak Pak Irvan itu. Padahal aku ingin tahu.
Apakah Pak Irvan itu yang nama dan wajah anak perempuannya sama denganku?Sudah dua tahun aku tak ke Bogor. Aku sudah rindu sekali pada Nenek. Dengan berbagi cara aku
minta izin pada orang tuaku untuk berlibur ke rumah nenek. Akhirnya permintaanku dikabulkan.
Syaratnya, selama di rumah Nenek, aku tidak boleh keluar rumah. Kalau main, cukup di halaman.
Kini, sudah tiga hari aku di rumah Nenek. Karena kesal tidak boleh keluar rumah, akhirnya aku
jatuh sakit. Di kamar depan aku terbaring. Dari jendela tampak halaman rumah Pak Irvan yang luas. Tiba-
tiba aku tersentak. Ada gadis seusiaku keluar dari rumah sambil dipapah masuk mobil. Sepertinya ia
sedang sakit. Sepintas aku melihat gadis itu sangat mirip denganku. Apakah ia yang namanya...?Ah! Tiba-
tiba semuanya gelap!ternyata pingsan.
Ketika sadar, aku sudah berbaring di rumah sakit. Kulihat ada Nenek dan seorang pria gagah,
sebaya Ayah, sedang menjagaku.
Pria itu tersenyum padaku. “Jadi ini yang namanya Puji Ambarwati, Nek?”
Aku terkejut, pria itu menyebut namaku. Nenek menjenguk sambil menjawab, “Betul, ini Puji
Ambarwati”
“Wah, perasaan saudara kembar itu mungkin sama ya? Buktinya, yang satu sakit, eh...yang
satunya lagi juga sakit!” ujar pria itu lagi.
Keningku berkerut, bingung.
“Nak, gadis yang tidur di ranjang sebelah itu...namanya Puji Ambarsari, saudara kembarmu!” ujar
pria itu lagi ramah.
Aku terkejut. Spontan kutengok penghuni ranjang sebelahku. Di sana ada gadis sebayaku yang
mirip denganku Seperti melihat cermin, ada bayanganku disana. Aku dan gadis itu saling tersenyum.
“Makanya, mengapa ayah dan ibumu selalu khwatir dengan tahi lalatmu itu hilang, kami jadi sulit
membedakan mana Puji Ambarwati dan mana Puji Ambarsari, “ ujar Nenek.
Ternyata aku punya saudara kembar. Dan Pak Irvan adalah ayah angkat saudara kembarku itu. Ah,
hatiku kini plong rasanya! Kami tertawa bersama-sama
Carilah unsur intrinsik cerpen diatas
Jawaban dan Penjelasan
Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.
Jawaban:
diujung dagu misteri tahi lalat mungil
Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh kudri8080 dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.
Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact
Last Update: Mon, 17 Jan 22