1. Bentuk sistem pemerintahan orde reformasi masa pemerintahan Bj.Habibie2. UUD/Konstitusi

Berikut ini adalah pertanyaan dari aurazahrak pada mata pelajaran PPKn untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama

1. Bentuk sistem pemerintahan orde reformasi masa pemerintahan Bj.Habibie2. UUD/Konstitusi yang digunakan orde reformasi masa pemerintahan Bj.Habibie

Tolong yh, mksi​

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:

Dalam buku Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (2007) karya Budi Winarno, pemerintahan BJ Habibie dianggap sebagai pemerintahan yang kurang kuat di dalam menghadapi reformasi.

Kurangnya dukungan komunitas politik membuat pemerintahan pada masanya mengalami berbagai praktik kekerasan, disintegrasi sosial dan rapuhnya legitimasi kekuasaan yang ia pimpin.

Penjelasan:

Periode Mei 1998 merupakan salah satu tahapan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia yang sangat signifikan dan mempunyai pengaruh yang besar bagi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia di kemudian hari. Pada periode Mei 1998 inilah sesungguhnya merupakan detik-detik terakhir kepemimpinan Presiden Soeharto, hingga akhirnya beliau mengumumkan “pernyataan berhenti” pada tanggal 21 Mei 1998.

Undang-Undang Dasar yang berlaku pada saat itu adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD) sebelum amandemen. Pasal 8 UUD menyebutkan bahwa “jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya”. Jika kita melakukan analisis terhadap ketentuan Pasal 8 UUD 1945 ini maka hanya ada 3 (tiga) kemungkinan atau alasan berakhirnya jabatan seorang Presiden Republik Indonesia, yakni mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.

Argumentasi yang paling memungkinkan pada saat itu untuk mengakhiri jabatan Presiden Republik Indonesia adalah “berhenti”. Namun, yang menjadi kendala saat itu adalah Presiden Soeharto tidak mungkin menyampaikan pernyataan berhenti di depan sidang istimewa MPR sebagaimana yang lazim dilakukan di gedung MPR/DPR pada kondisi normal karena Gedung DPR/MPR pada waktu itu sudah diduduki oleh massa dan mahasiswa.

Pada saat itulah, Profesor Yusril Ihza Mahendra mengusulkan kepada Presiden Soeharto, dengan alasan keadaan yang darurat, agar menyatakan (declare) berhenti secara sepihak tanpa laporan pertanggungjawaban dan/atau persetujuan pihak manapun. Presiden Soeharto setuju dengan pilihan kebijakan ini demi stabilitas nasional dan akhirnya diucapkanlah pernyataan berhenti tersebut pada tanggal 21 Mei 1998. Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan jabatan presiden, Pasal 8 UUD mengatur bahwa Wakil Presiden secara otomatis menjadi Presiden.

Namun, secara prosedural, masih terdapat kendala yakni bahwa menurut Tap MPR Nomor VII tahun 1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia berhalangan, Wakil Presiden mengucapkan sumpah di hadapan DPR. Jika hal itu tidak dapat dilakukan maka dilakukan di depan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, Saadilah Mursyid selaku Menteri Sekretaris Negara kemudian menghubungi Sarwata selaku Ketua Mahkamah Agung agar hadir di Istana Merdeka guna menyaksikan pernyataan berhenti Presiden Soeharto dan pengucapan sumpah Wakil Presiden B.J.Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-3. Skenario ini pada akhirnya juga diakui sah dan konstitusional oleh Mahkamah Agung.

Pengalaman pada suksesi kepemimpinan nasional tahun 1998 menjadi salah satu pelajaran yang sangat berharga bagi kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, sehingga pengaturan mengenai berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dan segala konsekuensinya termasuk salah satu materi muatan konstitusi yang diubah dalam amandemen undang-undang dasar.

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) mengatur bahwa Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Pengaturan dalam Pasal 8 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 secara umum sama dengan Pasal 8 UUD, hanya saja Pasal 8 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 menambahkan kata “diberhentikan” dan mengganti frase “...sampai habis waktunya” dengan “...sampai habis masa jabatannya”. Dengan adanya penambahan kata “diberhentikan” maka UUDNRI Tahun 1945 membedakan secara tegas istilah “berhenti” dan “diberhentikan” sebagai alasan berakahirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun penggantian frase “...sampai habis waktunya” dengan “...sampai habis masa jabatannya” bertujuan agar lebih jelas maksudnya karena habisnya masa jabatan lebih terukur waktunya, sedangkan habisnya masa waktu tidak jelas ukuran waktunya.

Salah satu kemajuan yang ada dalam UUDNRI Tahun 1945 jika dibandingkan dengan UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah adanya pengaturan mengenai konsekuensi dari berakhirnya masa jabatan Presiden. Selain itu, Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 mengatur pula solusi terhadap kemungkinan terjadinya kekosongan jabatan Wakil Presiden serta kondisi jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Substansi ini tidak ada dalam UUD 1945 sebelumnya.

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh philipmandiangan dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Wed, 02 Nov 22