Hari masih pagi. Rumah No.6 di tikungan jalan Tanjung tampak

Berikut ini adalah pertanyaan dari Imanuelle16543 pada mata pelajaran B. Indonesia untuk jenjang Sekolah Dasar

Hari masih pagi. Rumah No.6 di tikungan jalan Tanjung tampak sepi. Aku dan kawan-kawanmemarkir sepeda di bawah pohon sawo. Dengan hati-hati, kami berjingkat dan mengintip lewat
celah pagar yang terhalang semak belukar. Entah mengapa, kami suka sekali memata-matai
rumah nomor 6 ini. Sebetulnya rumah itu biasa-biasa saja. Namun kelihatan kotor dan kurang
terawat.
Kami, murid-murid SDN 04 sangat takut pada Pak Umang. Ia adalah penghuni rumah nomor 6 ini.
Menurut cerita, Pak Umang yang berkumis dan berjanggut panjang itu adalah mantan narapidana.
Ia pernah dipenjara karena hamper membunuh orang dalam suatu perkelahian. Banyak cerita
seram mengenai Pak Umang. Entahlah, cerita itu benar atau tidak.
Anak perempuan Pak Umang baru pindah ke sekolah kami. Namanya Badai. Murid-murid
perempuan suka mengejek nama yang kedengaran aneh itu. Badai juga selalu diolok-olok karena
berkepala botak. Aku tak tahu mengapa rambutnya dicukur plontos seperti itu. Badai sangat
pendiam. Di saat jam istirahat, ia lebih suka pergi ke perpustakaan sendirian.
Kresk.. Dito menginjak ranting kering. Sssst! Desis Ucok sambil memanyunkan bibirnya. Aku
cengengesan melihat ulah teman-teman yang berlagak detektif. Minggu lalu kami dipergoki Pak
Umang saat sedang mengintip seperti ini. Waktu itu ia membuka pintu pagar sambil membawa
golok di tangan.Tentu saja kami lari terbirit-birit. Hiii....aku bergidik ngeri kalau mengingat kejadian
itu. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, aku dan teman-teman kembali melakukan pengintaian
ini. Rasa penasaran membuat kami tidak jera.
Pintu rumah nomor 6 tiba-tiba terbuka. Dari balik celah pagar yang lebar kami dapat melihat Pak
Umang dan Badai keluar.
"Hei, lihat, tuh! Badai mau berangkat sekolah!" bisik Ucok.
"Eh, ayo kita jahili anak aneh itu!" sahut Dito.
"Jangan, kalau ketahuan bapaknya kita bisa celaka!" ujar Andi gemetar sambil membenahi letak
kacamata minusnya yang melorot ke ujung hidung.
"Ssst...jangan berisik!" kataku memperingatkan.
Dari kejauhan tampak Pak Umang mengantar Badai hingga ke pintu pagar. Ia lalu kembali masuk
ke rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
"Ayo!" Aku dan kawan-kawan bergegas mengambil sepeda lalu mengayuh pedal perlahari.
Secepat kilat Ucok menyambar topi Badai dari belakang.
“Botak! Botak! Botak!" sorak kami beramai-ramai sambil tertawa terbahak-bahak. Badai tampak
pucat. Ia hampir menangis di tepi pagar. Tiba-tiba pintu rumah terbuka.
Astaga! Pak Umang datang! Ucok buru-buru melempar topi itu ke pinggir jalan. Lalu kami
mengayuh sepeda sekencang- kencangnya.
Aku begitu terburu-buru sehingga tidak memperhatikan jalan di depan Brakk! Sepedaku menabrak
tiang listrik. Aku terjatuh membentur aspal. Aduh! Aku meringis kesakitan. Teman-temanku cuma
bisa menonton di kejauhan. Mereka terlalu takut untuk kembali dan menolongku.
Rasa takut yang mencekam tak dapat kusembunyikan saat melihat Pak Umang mendekat. Aku
mencoba beringsut sekuat tenaga, tapi kakiku tak dapat bergerak.
Pak Umang kian mendekat, jaraknya tinggal beberapa langkah. Aku berusaha mundur dengan
tubuh menggigil ketakutan. Tiba-tiba Pak Umang sudah membungkuk di hadapanku.
"Ampun, Pak! Ampun! Saya janji nggak nakal lagi, Pak!" Aku menjerit histeris, tangisku meledak.
Tiba-tiba tubuhku terasa melayang. Rupanya Pak Umang menggendongku masuk ke rumahnya.
Aku pasrah. Tubuhku yang lemah dibaringkan di sofa ruang tamu.
"Badai, ambil kotak P3K!" samar-samar kudengar suara parau Pak Umang. Tak lama kemudian
Badai sudah duduk di sisiku sambil membawa kotak putih dengan gambar palang merah di
atasnya.
Pak Umang membersihkan luka-luka di siku tangan dan lututku dengan kapas beralkohol. Uh...
sesekali aku meringis karena merasa pedih. Luka itu lalu ditutup dengan kain kasa dan plester.
Luka-luka ringan lainnya diberi betadine.
"Nggak apa-apa, sebentar lagi juga sembuh, kok! Anak laki-laki harus kuat, jangan cengeng!"
hibur Pak Umang ramah. Aku menunduk malu.
"Sakit?" tanya Badai pelan, aku mengangguk mengusap air mata.
"Jangan takut, kepalaku pernah dijahit dan rasanya nggak sakit, kok."
"Dijahit! Kenapa?"
"Soalnya di kepalaku ada penyakit yang harus dioperasi dokter. Kepalaku dibedah, terus
penyakitnya diangkat, setelah itu baru dijahit!" tutur Badai polos sambil membuka topinya. Ia
menunjukkan bekas jahitan di belakang kepala gundulnya. Aku tertegun sambil memperhatikan
bekas jahitan itu. Kini aku mengerti mengapa rambut Badai dicukur sampai plontos.
"Ayo anak-anak, kalian Bapak antar ke sekolah pakai motor, ya? Sepedamu biar dititip di sini.
Nanti pulang sekolah bisa kamu ambil!" kata Pak Umang kepadaku sambil meraih jaket di atas
meja.
"Terima kasih Pak!" Tiba-tiba rasa bersalah menyesak di dada. Aku merasa malu dengan
prasangka burukku selama ini.
"Maafkan kesalahanku ya," ucapku lirih sambil mengulurkan tangan pada Badai. Badai
menyambutnya dengan senyum tulus. Kami bersalaman.

Mapel:B.indo
Kelas:4
Maaf kalo terlalu panjang
Hari masih pagi. Rumah No.6 di tikungan jalan Tanjung tampak sepi. Aku dan kawan-kawan
memarkir sepeda di bawah pohon sawo. Dengan hati-hati, kami berjingkat dan mengintip lewat
celah pagar yang terhalang semak belukar. Entah mengapa, kami suka sekali memata-matai
rumah nomor 6 ini. Sebetulnya rumah itu biasa-biasa saja. Namun kelihatan kotor dan kurang
terawat.
Kami, murid-murid SDN 04 sangat takut pada Pak Umang. Ia adalah penghuni rumah nomor 6 ini.
Menurut cerita, Pak Umang yang berkumis dan berjanggut panjang itu adalah mantan narapidana.
Ia pernah dipenjara karena hamper membunuh orang dalam suatu perkelahian. Banyak cerita
seram mengenai Pak Umang. Entahlah, cerita itu benar atau tidak.
Anak perempuan Pak Umang baru pindah ke sekolah kami. Namanya Badai. Murid-murid
perempuan suka mengejek nama yang kedengaran aneh itu. Badai juga selalu diolok-olok karena
berkepala botak. Aku tak tahu mengapa rambutnya dicukur plontos seperti itu. Badai sangat
pendiam. Di saat jam istirahat, ia lebih suka pergi ke perpustakaan sendirian.
Kresk.. Dito menginjak ranting kering. Sssst! Desis Ucok sambil memanyunkan bibirnya. Aku
cengengesan melihat ulah teman-teman yang berlagak detektif. Minggu lalu kami dipergoki Pak
Umang saat sedang mengintip seperti ini. Waktu itu ia membuka pintu pagar sambil membawa
golok di tangan.Tentu saja kami lari terbirit-birit. Hiii....aku bergidik ngeri kalau mengingat kejadian
itu. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, aku dan teman-teman kembali melakukan pengintaian
ini. Rasa penasaran membuat kami tidak jera.
Pintu rumah nomor 6 tiba-tiba terbuka. Dari balik celah pagar yang lebar kami dapat melihat Pak
Umang dan Badai keluar.

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Penjelasan:

aku :orang nya sombong suka jahili orang lain

badai:orangnya sabar baik hati meskipun dia selalu d buli tetapi tidak melawan

pak Umang:orangnya cudes tapi baik hate seorang mantan narapidana

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh windaab251 dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Thu, 04 Aug 22