Berikut ini adalah pertanyaan dari badukdamaris pada mata pelajaran B. Daerah untuk jenjang Sekolah Dasar
Jawaban dan Penjelasan
Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.
Mengapa di Toraja tidak ada buaya?
Semasa kecil, pertanyaan ini sering menjadi bahan cerita di antara kami. Ketika mandi di Sungai Sa’dan, topik ini kadang kami obrolkan sambil menggosoki daki yang menempel di badan dengan batu-batu sungai. Sesekali, puarang (biawak) – yang secara fisik mirip dengan buaya – melintas di seberang sungai. Kami kemudian berlari ketakutan, pulang ke rumah masing-masing. Takut karena meyakini baru saja melihat buaya, juga karena omelan dan (kadang) jeweran yang sudah menanti di rumah. (Mandi di sungai tidak pernah disarankan oleh orangtua kepada kami).
Lalu, kisah ini dilisankan kepada kami. Kisah tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan panjang dari bumi hingga ke langit demi mendapatkan kembali anak lelakinya. Sebuah petualangan yang menjelaskan banyak hal, termasuk mengapa di Toraja tidak ada buaya, juga mengapa orang Toraja tidak boleh mengonsumsi daging tedong bulan (kerbau putih).
Tersebutlah sebuah nama: Polopadang. Seorang lelaki pemilik kebun yang tinggal di daerah Buntu (Bukit) Sarira. Di dalam kebunnya, ada sebuah kolam berair jernih. Polopadang seringkali heran karena buah kaise’-nya – sejenis tumbuhan kecil dengan buah berwarna merah berbentuk seperti buah pinang – yang sudah hampir matang selalu saja dicuri orang. Setahunya, tidak ada binatang apapun yang suka makan kaise’. Ia curiga pasti ada orang yang telah mencurinya. Pagi hari, ketika ia sampai di kebunnya, buah-buah kaise’ yang seharusnya sudah matang sudah tidak ada lagi di tempatnya. Karena kejadian itu berulang-ulang, maka pada suatu malam Polopadang sengaja menginap di kebunnya untuk mencari tahu siapa yang mencuri buah kaise’-nya.
Maka ketika purnama tak terlalu penuh, Polopadang menunggu dengan dada berdebar. Beberapa lama setelah malam memulai durasinya, Polopadang mendengar suara cekikikan dari kejauhan. Polopadang segera mendekati sumber suara dan terkejut ketika mendapati beberapa perempuan sedang asyik bermain sambil mandi di kolam yang terletak di kebunnya. Ia segera bersembunyi di balik pohon. Polopadang terpana menyaksikan perempuan-perempuan cantik yang sedang bercengkerama sambil mengunyah buah-buah kaise’ yang ia yakini adalah kaise’ yang mereka ambil dari kebun miliknya. Melihat rupa wajah mereka, Polopadang menduga perempuan-perempuan itu adalah makhluk dari langit. Sebelumnya, ia tak pernah melihat perempuan penghuni bumi yang memiliki wajah secantik itu. Polopadang lalu melihat setumpuk kain berwarna-warni yang teronggok di permukaan batu, tak jauh dari kolam itu. Polopadang berjalan mengendap-endap ke batu itu dan mengambil salah satu di antaranya.
Ketika perempuan-perempuan itu hendak kembali ke langit, salah seorang di antaranya yang adalah putri bungsu dari khayangan terkejut karena mendapati bajunya sudah hilang. Tak punya pilihan lain, putri bungsu itu kemudian ditinggalkan oleh kakak-kakaknya. Polopadang lalu menghampiri putri bungsu bernama Indo’ Deatanna itu untuk mengembalikan bajunya.
“Ternyata, kamu yang selama ini sudah mencuri kaise’ saya,” ucap Polopadang sambil tersenyum. “Karena kamu sudah mencuri, maka sebagai hukumannya, kamu harus bersedia menjadi istri saya.”
Indo’ Deatanna yang tidak punya alasan apapun untuk membela diri kemudian menerima tawaran Polopadang. “Apa boleh buat karena saya memang mencuri kaise’-mu. Namun, saya ingin mengajukan syarat. Kamu harus berjanji untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar atau makian jika sudah menikah dengan saya.”
Singkat cerita, Polopadang kemudian menikah dengan Indo’ Deatanna. Tak lama kemudian, mereka memiliki seorang anak lelaki yang diberi nama Paerunan. Suatu ketika, Paerunan bermain dengan gasing emasnya di halaman rumah. Saat itu, Polopadang sedang membelah kayu tak jauh dari tempat Paerunan bermain. Sementara, Indo’ Deatanna sedang menenun di teras rumah. Tiba-tiba, Paerunan melemparkan gasing emas itu dan mengenai mata kaki Polopadang. Karena terkejut, Polopadang spontan mengumpat.
“Buaya! Pepayu! (kata makian kasar dalam bahasa Toraja) Gasing emasmu mengenai mata kakiku, Paerunan!” Polopadang mengelus mata kakinya yang terasa sakit terkena gasing emas milik Paerunan.
Mendengar umpatan itu, Indo’ Deatanna segera berhenti menenun dan meninggalkan kain tenun yang belum selesai. Ia berjalan menghampiri Paerunan lalu tanpa pamit ia meninggalkan Polopadang dan membawa Paerunan ke langit. Mereka meniti pelangi kembali ke tempat tinggal Indo’ Deatanna di langit.
Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh Audreykusuma66 dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.
Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact
Last Update: Fri, 08 Jul 22