kaidah asbabun nuzul​

Berikut ini adalah pertanyaan dari riahfauzal pada mata pelajaran B. Arab untuk jenjang Sekolah Menengah Atas

Kaidah asbabun nuzul​

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:

Kaidah-Kaidah Asbabun-Nuzul.

Dalam memahami kaidah disini dibagi menjadi dua yaitu :

1. Kaidah اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Yang berarti : “ungkapan itu didasarkan pada keumuman teksnya, bukan didasarkan atas kekhususan penyebabnya”.

Pengertiannya adalah jawaban lebih umum dari pertanyaan atau sebab –nya. Dan sebab lebih khusus dari pada lafadz jawabnya. Ini secara lgis mungkin terjadi, dan kenyataannya juga benar-benar terjadi. Karena bentuk seperti ini tidak mengandung kekurangan, justru keumuman lafadz dengan kekhususan sebabnya akan menyampaikan kepada tujuan secara lebih sempurna dan efektif.

Hanya saja, ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah yang dianggap keumuman lafadznya atau kekhususan sebabnya? Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya mencakup semua unsur dari lafadz tersebut, baik unsur-unsur sebab maupun unsur-unsur selain sebab. Sebagai contoh, peristiwa tuduhan zina oleh Hilal ibn Umayyah kepada istrinya, yang berkenaan dengan peristiwa itu, turun firman Allah SWT :

Penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk hukumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus).

Contoh kaidah pertama : Firman Allah, Surat An-Nur ayat 6:

Dan orang-yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. [Q.S. An-Nur: 6].

Hadis yang lain lagi diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari sahl bin Sa’d, ia berkata: Uwaimir bin Nash datang kepada ‘Ashim bin ‘Uddai, lalu berkata, Tanyakan kepada Rasulullah SAW. Bila seorang mendapatkan isterinya bermesraan dengan lelaki lain, maka dibunuh saja atau bagaimana?”. Setelah ‘Ashim bertanya kepada Rasulullah SAW., lalu bilang kepada Uwaimir, “Demi Allah, aku telah datang dan bertanya kepada Rasulullah dan beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Al-Qur’an telah diturunkan kepadamu dan temanmu’, lalu beliau membaca ayat (yang artinya): “Orang-orang yang menuduh isterinya dengan berzinah, tapi mereka tidak mempunyai saksi-saksi kecuali dirinya sendiri...” ( QS. An-Nur: 6)

Maka cara untuk menyatukan dua riwayat tersebut dapat kita kemukakan bahwa riwayat yang awal menyangkut orang yang dituju langsung oleh turunnya ayat (Hilal), yang kebetulan bersamaan dengan datangnya Uwaimir, maka kemudian ayat turun pada keduannya. Ini sesuai dengan kata Ibnu Hajar: “Tidak mengapa ada banyak sebab”.

2. Kaidah kedua menyatakan sebaliknya :اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُ اللَّفْظِ

(yang menjadi patokan adalah sebab khusus, bukan keumuman lafal).[4]

Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT berdasarkan sebab khusus yang harus dipahami sesuai dengan lafal keumuman ayat tersebut atau hanya terbatas pada sebab khusus yang melatar belakangi turunnya ayat itu. Dalam masalah tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan mufasir dan ahli ushul fiqh, kaidah yang dipakai adalah kaidah pertama, yaitu memahami ayat sesuai dengan keumuman lafalnya, bukan karena sebab khususnya.

Sebagian kecil mufasir dan ahli ushul fiqh, khususnya mufasir kontemporer, berpendapat bahwa ayat itu semestinya dipahami sesuai dengan sebab khususnya, bukan berdasarkan lafalnya yang umum. Dalam kaitan dengan ini Ridwan as-Sayyid, tokoh pembaru dari Mesir menjelaskan bahwa dalam suatu peristiwa terdapat unsur-unsur.

Contoh penerapan kaidah kedua: Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115:

Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115).

Jika dalam memahami ayat 115 ini kita tetapkan kaidah pertama, maka dapat disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap kearah mana saja, tanpa dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana kita shalat.

Kesimpulan demikian ini bertentangan dengan dalil lain(ayat) yang menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus menghadap ke arah Masjidil-Haram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 149)”

Akan tetapi, jika dalam memahami Surat Al-Baqarah ayat 115 diatas dikaitkan dengan Asbabun nuzulnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap ke arah mana saja dalam shalat adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas kendaraan yang sedang berjalan, atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil Haram). Dalam kasus ayat yang demikian ini pemahamannya harus didasarkan pada sebab turunnya ayat yang bersifat khusus dan tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh yang bersifat umum

Penjelasan:

maaf kalau salah

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh ara2086 dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Mon, 24 Jan 22